Most Recent
Libya Timur Pamer Senjata Baru dari Rusia
Di Jalur Gaza, pemerintahan yang dikelola otoritas lokal sejak 2007 memiliki struktur pemerintahan semi lengkap dengan sejumlah kementerian yang menjalankan berbagai urusan sipil, sosial, ekonomi, dan keamanan. Jumlah kementerian yang aktif di Gaza saat ini mencapai sekitar 18 lembaga utama, mulai dari Kementerian Dalam Negeri, Kesehatan, Pendidikan, Ekonomi, hingga Urusan Wakaf dan Agama. Struktur ini berjalan secara de facto meski tak diakui oleh Pemerintahan Palestina di Ramallah yang secara sepihak membubarkan pemerintahan sah Hamas dan parlemenn.
Hubungan antara pemerintahan di Gaza dan Ramallah sangat rumit dan penuh ketegangan sejak perpecahan politik yang dimulai setelah Pemilu 2006. Salah satu isu paling sensitif adalah soal gaji para pegawai negeri sipil di Jalur Gaza. Sejak 2007, setelah pemerintah di Ramallah kehilangan kendali atas Gaza, gaji sebagian besar pegawai sipil di sana dibekukan atau dibayarkan secara tidak rutin.
Ramallah selama bertahun-tahun hanya membayarkan gaji pegawai yang dianggap loyal kepada pemerintahan pusat Ramallah, sementara pegawai yang bekerja di bawah struktur pemerintahan Gaza hasil pemilu 2006 kerap diabaikan. Banyak dari pegawai di Gaza akhirnya menerima gaji parsial atau bantuan insentif dari pemerintahan lokal di Gaza, yang bersumber dari pendapatan pajak lokal dan bantuan kemanusiaan terbatas.
Kondisi ini memperburuk ketegangan di masyarakat karena menciptakan ketimpangan kesejahteraan di antara pegawai negeri. Pemerintah Gaza berulangkali menuduh Ramallah menggunakan kebijakan gaji sebagai alat tekanan politik untuk memperlemah legitimasi pemerintahan lokal. Di sisi lain, Ramallah menuding pemerintah Gaza melakukan perekrutan ilegal dan membangun pemerintahan paralel yang bertentangan dengan perjanjian nasional.
Ketegangan ini juga berdampak langsung terhadap layanan publik karena banyak pegawai pemerintah di Gaza terpaksa bekerja tanpa kepastian upah tetap, sementara kebutuhan masyarakat terus meningkat akibat blokade Israel dan krisis kemanusiaan berkepanjangan. Hingga kini, berbagai upaya rekonsiliasi yang difasilitasi Mesir dan Qatar selalu kandas, salah satunya karena isu sensitif soal penggajian pegawai ini.
Situasi ini turut dimanfaatkan Israel dalam taktik pecah belah, di mana ketegangan internal antara Gaza dan Ramallah dimaksimalkan untuk memperlemah posisi Palestina secara keseluruhan dalam percaturan politik regional. Sebagian pengamat menyebut selama dua pemerintahan ini tidak mampu menyatukan kebijakan dan menyelesaikan sengketa administratif seperti soal gaji pegawai dan pengakuan jabatan, maka perjuangan politik Palestina akan terus terbelah dan stagnasi.
Politik Palestina di Gaza Diinfiltrasi Israel
Kesejahteraan dan Keadilan Ekonomi Jadi Isu Utama di Politik Hadramut Yaman
Cegah Serangan Siber, Iran Andalkan Intranet Nasional Sembari Bangun Kemandirian Digital
Dataran Tinggi Golan kerap terlupakan dari peta penjajahan Israel yang selama ini lebih difokuskan pada Gaza yang kini jadi korban genosida dan Tepi Barat di Palestina. Padahal, wilayah yang secara hukum internasional masih dianggap milik Suriah ini telah dijadikan target aneksasi bertahap oleh Tel Aviv selama lebih dari lima dekade terakhir. Dimulai dari perang enam hari tahun 1967, Golan direbut oleh militer Israel dari tangan Suriah dan sejak itu menjadi bagian dari wilayah yang dikontrol militer Zionis.
Selama bertahun-tahun, Israel membangun permukiman ilegal di wilayah ini sembari secara sistematis menggusur warga Suriah asli yang memilih bertahan. Meskipun Majelis Umum PBB dan Dewan Keamanan terus mengeluarkan resolusi yang menolak klaim kedaulatan Israel atas Golan, langkah-langkah aneksasi terus berjalan secara de facto. Puncaknya adalah pada Desember 1981 ketika Israel mengesahkan Undang-Undang Dataran Tinggi Golan yang secara sepihak menyatakan wilayah itu sebagai bagian dari negara Israel.
Padahal, rancangan undang-undang itu sempat ditolak mayoritas parlemen Israel awal tahun yang sama. Namun, setelah pemilu legislatif Juni 1981 yang memperkuat posisi Likud dan Menachem Begin, undang-undang tersebut lolos tanpa banyak perlawanan. Dunia mengecam, tetapi tak berdaya. AS di bawah pemerintahan Trump bahkan mengakui kedaulatan Israel atas Golan pada 2019, sebuah langkah yang hanya diikuti oleh segelintir negara lain.
Kondisi Golan kini sangat berbeda dibandingkan sebelum tahun 1967. Kota-kota seperti Majdal Shams, Buq’ata, dan Ein Qiniyye kini dihuni oleh warga Suriah keturunan Druze yang sebagian besar masih menolak kewarganegaraan Israel. Mereka menjadi kelompok stateless yang hidup di bawah sistem hukum Israel namun tidak diakui sebagai warga negara penuh. Mereka seringkali menghadapi diskriminasi administratif dan kesulitan mengakses layanan dasar.
Sementara itu, permukiman Yahudi terus diperluas dengan investasi negara dan kemudahan dari otoritas Israel. Infrastruktur, jalan penghubung, dan fasilitas publik hanya dibangun di kawasan pemukiman Yahudi. Kawasan Druze dan warga Suriah lokal dibiarkan stagnan. Hal ini merupakan bagian dari strategi demografis untuk mengubah komposisi populasi wilayah secara permanen, sebagaimana pernah diterapkan Israel di Yerusalem Timur.
Masyarakat internasional terus mengulang frasa usang tentang “solusi dua negara” dan “status final dalam perundingan damai”, tapi fakta di lapangan menunjukkan bahwa aneksasi de facto sudah terjadi. Golan secara hukum masih milik Suriah, namun secara administrasi dan militer dikendalikan penuh oleh Israel. Bahkan beberapa wilayah seperti Quneitra, yang dulu sempat dikembalikan secara simbolis ke Suriah usai Perang Yom Kippur, kini secara perlahan dikuasai ulang oleh Israel pasca-perang saudara Suriah.
Jika tren ini berlanjut, nasib warga Golan yang tidak memegang paspor Israel akan semakin terpinggirkan. Dalam skenario terburuk, mereka bisa mengalami nasib serupa seperti warga Palestina di Yerusalem Timur yang dihapuskan hak tinggalnya melalui undang-undang pemukiman dan pembatasan kependudukan. Golan bisa menjadi model kolonisasi yang lebih "sunyi", namun tak kalah sistematis dari wilayah lainnya.
Israel juga memanfaatkan kekacauan di Suriah untuk melegitimasi keberadaannya di Golan. Dengan narasi “membendung terorisme” dan “mencegah pengaruh Iran”, Israel berhasil menjustifikasi ekspansi ke arah timur bahkan kadang melintasi zona demiliterisasi yang dibentuk PBB. Setiap kali Suriah melemah, Israel memperkuat cengkeramannya di Golan dengan dalih keamanan.
Di sisi lain, warga Golan menghadapi dilema identitas. Generasi muda Druze kini tumbuh dalam sistem pendidikan Israel, berbicara dalam bahasa Ibrani, dan terpapar media Israel, namun mereka tetap mengidentifikasi diri sebagai warga Suriah. Sebagian kecil menerima paspor Israel demi kemudahan hidup, tetapi mayoritas tetap menolak dengan risiko keterpinggiran administratif.
Skenario masa depan Golan semakin suram jika tak ada intervensi nyata dari dunia internasional. Tanpa proses rekonsiliasi yang adil, kawasan ini bisa menjadi bom waktu baru dalam konflik Timur Tengah. Jika suatu hari Suriah kembali stabil, kemungkinan konflik terbuka dengan Israel pun tak bisa dikesampingkan. Terlebih bila kepemimpinan baru di Damaskus memprioritaskan pemulihan wilayah-wilayah yang diduduki.
Peran PBB tampak lemah dalam menanggapi aneksasi Golan. Resolusi demi resolusi hanya menjadi arsip diplomatik tanpa kekuatan mengikat. Bahkan pengiriman pasukan pemantau seperti UNDOF tak mampu menghentikan perubahan de facto yang dilakukan Israel di lapangan. Upaya diplomatik menjadi tak berarti jika tak diiringi tekanan ekonomi dan politik terhadap Israel.
Golan juga memiliki nilai strategis tinggi karena posisinya yang menghadap Dataran Damaskus dan mengontrol sumber air utama wilayah tersebut. Ini menjadi alasan utama Israel enggan melepasnya. Dalam banyak skenario militer, Golan adalah titik krusial untuk mempertahankan atau melancarkan serangan. Nilai ini membuat Golan tetap menjadi fokus utama strategi keamanan Israel.
Sebagai catatan sejarah, aneksasi Golan mencerminkan kegagalan kolektif masyarakat internasional dalam menegakkan hukum internasional. Ketika pelanggaran hukum dilakukan secara bertahap dan tidak mendapat respons keras, maka pelanggaran tersebut akan menjadi norma baru. Kasus Golan bisa menjadi preseden berbahaya bagi wilayah-wilayah lain yang mengalami nasib serupa.
Kini, warga Golan yang tidak menjadi warga Israel hidup dalam ketidakpastian. Mereka bukan warga Suriah secara administratif, bukan warga Israel secara hukum, dan terjebak dalam realitas kolonialisme modern. Dunia harus kembali membuka mata terhadap Golan, bukan hanya Gaza dan Tepi Barat. Tanpa keadilan untuk Golan, perdamaian di Timur Tengah hanyalah ilusi yang terus dikumandangkan tanpa makna.
Golan: Aneksasi Perlahan oleh Israel, Dunia Membisu
Peresmian stasiun pengisian daya mobil listrik pertama di Tripoli, ibu kota Libya, menjadi sinyal kecil namun penuh arti bahwa negara di Afrika Utara ini tengah mencoba bangkit dan memasuki era baru teknologi bersih. Stasiun yang berlokasi di Barkadjo Towers No. 1, tepat di jantung Tripoli, menjadi simbol awal dari cita-cita besar yang telah lama dikubur dalam reruntuhan perang saudara dan kekacauan pasca-rezim Muammar Khadafi.
Selama berkuasa lebih dari empat dekade, Khadafi dikenal bukan hanya karena kebijakan nyentriknya, tetapi juga karena ambisinya yang tak pernah padam untuk menjadikan Libya sebagai kekuatan besar, baik di dunia Arab maupun di benua Afrika. Di antara berbagai proyek utopisnya, impian menjadikan Libya memiliki industri otomotif nasional sempat mencuat, meski tidak pernah benar-benar terealisasi secara teknis dan berkelanjutan.
Kini, di tengah bayang-bayang masa lalu yang kontroversial dan masa kini yang masih dipenuhi tantangan, muncul pertanyaan realistis: apakah Libya bisa ikut bersaing dalam industri mobil listrik yang kini menjadi masa depan otomotif global? Atau, mungkinkah Libya lebih cocok mengambil peran sebagai produsen komponen pendukung seperti baterai, ban, atau perangkat elektronik kendaraan?
Dengan cadangan mineral yang belum sepenuhnya dieksplorasi, tenaga kerja yang terampil masih terbatas, serta infrastruktur industri yang belum stabil, sebagian analis menilai Libya masih jauh dari siap untuk memproduksi mobil listrik secara utuh. Namun peluang tetap terbuka untuk memulai dari lini produksi yang lebih sederhana namun strategis, seperti produksi komponen baterai berbasis litium, pengolahan logam tanah jarang, atau bahkan pembuatan ban dengan teknologi daur ulang.
Langkah awal yang bisa ditempuh Libya adalah memetakan kekayaan sumber daya alamnya yang relevan dengan industri kendaraan listrik. Jika ditemukan kandungan mineral penting seperti kobalt, nikel, atau litium, Libya dapat menawarkannya kepada investor sebagai keunggulan komparatif. Bahkan negara ini bisa menjalin kemitraan dengan produsen global sebagai bagian dari rantai pasok internasional.
Libya juga dapat menargetkan pembuatan suku cadang kendaraan yang tidak terlalu kompleks secara teknologi, namun tetap vital secara industri, seperti rangka, kaca mobil, atau sistem pendingin. Keberhasilan di bidang ini bisa membuka jalan bagi pengembangan industri pendukung lain, sebelum akhirnya melangkah ke tahap perakitan dan produksi mobil secara utuh.
Namun untuk merealisasikan mimpi besar memiliki industri mobil nasional, Libya butuh lebih dari sekadar sumber daya. Diperlukan stabilitas politik, iklim investasi yang aman, tenaga kerja terlatih, dan visi industri jangka panjang yang konsisten melampaui kepentingan politik jangka pendek. Mimpi Khadafi tentang mobil nasional tidak akan pernah terjadi jika negara terus dililit konflik faksi dan kekacauan birokrasi.
Pemerintah Libya yang kini berusaha merekonstruksi ulang fondasi negaranya harus menjadikan sektor otomotif ramah lingkungan sebagai salah satu prioritas nasional. Bukan hanya karena tren global, tetapi juga sebagai simbol kebangkitan industri dalam negeri. Menarik investasi dari negara seperti Turki, Tiongkok, atau bahkan Uni Eropa bisa menjadi langkah awal memperkuat kapasitas teknis dan produksi.
Pengembangan pusat riset dan pelatihan teknik otomotif juga sangat penting. Tripoli atau Misrata dapat menjadi pusat pendidikan vokasi dan rekayasa industri, membekali generasi muda Libya dengan keterampilan yang dibutuhkan untuk membangun masa depan industri mereka sendiri. Langkah ini juga dapat mengurangi ketergantungan pada tenaga asing dalam jangka panjang.
Skenario paling realistis bagi Libya dalam 10 tahun ke depan adalah menjadi pusat produksi regional untuk komponen kendaraan listrik di Afrika Utara. Jika Libya bisa menyediakan listrik murah dari matahari dan tenaga angin, serta membangun jaringan logistik yang efisien, bukan tidak mungkin negeri ini akan dilirik sebagai basis manufaktur alternatif di luar Asia.
Stasiun pengisian daya yang baru diresmikan itu, meski kecil, adalah simbol tekad. Ia bisa menjadi titik tolak untuk membangun ekosistem kendaraan listrik lokal, dari penggunaan pribadi hingga transportasi publik. Pemerintah daerah dapat mengintegrasikan kendaraan listrik ke dalam sistem bus kota atau layanan antar-jemput untuk mempercepat adopsi teknologi ini.
Di sisi lain, Libya juga bisa memanfaatkan narasi “mobil listrik buatan sendiri” sebagai alat unifikasi nasional. Setelah bertahun-tahun dilanda perang saudara dan perpecahan, sebuah proyek industrial yang menyatukan anak muda dari berbagai wilayah dapat menjadi proyek identitas bersama yang melampaui batas politik.
Inspirasi bisa diambil dari negara-negara kecil seperti Vietnam yang melalui VinFast berhasil meluncurkan mobil listrik dalam waktu singkat. Meski banyak tantangan, tekad yang kuat dan dukungan negara menjadi kunci utama. Jika Vietnam bisa, mengapa Libya tidak?
Untuk itu, Libya harus mulai membentuk badan otoritatif setingkat kementerian khusus yang menangani strategi industri otomotif hijau, lengkap dengan peraturan, insentif pajak, dan jaminan keamanan investasi. Tanpa struktur kelembagaan yang kuat, mimpi membangun mobil listrik nasional hanya akan menjadi nostalgia masa lalu.
Khadafi, dengan segala kontroversinya, sempat bermimpi tentang Libya yang mandiri secara ekonomi dan teknologi. Mimpi itu gagal bukan karena visinya salah, tetapi karena pendekatannya yang tidak inklusif dan represif. Kini, dengan pendekatan yang terbuka dan kolaboratif, rakyat Libya bisa mencoba mewujudkan ulang mimpi tersebut—dengan semangat baru dan strategi yang lebih realistis.
Mobil listrik buatan Libya mungkin belum akan lahir esok hari. Tapi fondasinya bisa dibangun hari ini, dimulai dari kerja keras membangun ekosistemnya, merancang peta jalan industri, dan menciptakan generasi yang tak hanya bisa membeli mobil, tapi juga menciptakannya. Masa depan Libya bisa dimulai dari garasi kecil di Tripoli—selama negara itu berani bermimpi dan bekerja untuk mewujudkannya.