Harapan baru kembali menyeruak di tengah kompleksitas politik Libya. Banyak pihak menilai, meski terpecah antara pemerintahan Tripoli di barat dan Tobruk di timur, masih terbuka jalan bagi negara ini untuk melangkah ke depan dengan model pembangunan yang berbeda. Tripoli diharapkan meniru Korea Selatan dengan kemajuan teknologi, industrialisasi dan inovasinya, sementara Tobruk diyakini bisa mengadopsi pendekatan ala Korea Utara melalui program antariksa dan rudal canggih.
Di Tripoli, optimisme ini ditopang oleh berbagai upaya membangun sektor sipil dan ekonomi. Kota ini, yang menjadi pusat pemerintahan yang diakui secara internasional, mulai membuka pintu bagi investasi dan pelatihan teknologi. Visi ini selaras dengan harapan agar Libya barat menjadi motor modernisasi yang mampu mengubah wajah negara pascaperang.
Sementara itu, di Tobruk dan wilayah timur Libya, pengembangan kekuatan militer masih menjadi fokus utama. Ide agar wilayah ini meniru model Korea Utara muncul dari konsistensinya membangun kekuatan pertahanan, dengan program rudal dan wacana pengembangan antariksa yang semakin sering digaungkan. Meski terdengar ambisius, hal ini dianggap jalan realistis untuk menjaga keseimbangan dengan Tripoli.
Di lapangan, tanda-tanda konsolidasi militer terus terlihat. Zona Militer Pesisir di Libya barat baru-baru ini menggelar upacara kelulusan Batalion Infanteri ke-3 dari Brigade 62. Acara tersebut dihadiri Wakil Kepala Staf Salah Al-Namroush, yang memuji para pelatih Turki serta perwira Libya atas peran mereka dalam membentuk disiplin dan kesiapan tempur pasukan.
Dalam sambutannya, Namroush menekankan pentingnya disiplin, kerja sama, dan kesiapan tanpa henti untuk mempertahankan kedaulatan negara. Pesan ini memperlihatkan bagaimana Libya berusaha menyeimbangkan antara kekuatan militer dan cita-cita pembangunan sipil.
Di tengah euforia militer tersebut, ketegangan di garis depan tetap terasa. Kendaraan lapis baja dan pasukan dari kubu yang berseberangan masih berjaga di wilayah strategis. Kondisi ini menunjukkan rapuhnya keamanan, yang sewaktu-waktu bisa meletup menjadi bentrokan bersenjata.
Upaya politik internasional pun digerakkan lebih intensif. Utusan PBB Hanna Tetteh mempercepat implementasi “peta jalan” baru yang bertujuan memecah kebuntuan politik dan membuka jalan menuju pemilu. Peta jalan ini disambut baik oleh Dewan Keamanan PBB, yang menekankan pentingnya kompromi politik yang transparan dan dipimpin oleh rakyat Libya sendiri.
Dewan Keamanan juga mendesak masyarakat internasional untuk memberikan dukungan kuat terhadap proses ini. Dukungan global dianggap krusial agar Libya tidak kembali terjerumus dalam siklus kekerasan yang berulang.
Dalam pernyataan resminya, Dewan Keamanan menyambut baik dihidupkannya kembali Komite Tindak Lanjut Proses Berlin. Forum ini dianggap penting untuk menyatukan institusi Libya yang selama ini terfragmentasi, termasuk dalam sektor keamanan dan militer.
Meski begitu, Dewan juga menyampaikan kekhawatiran atas iklim keamanan Libya yang rapuh. Mereka memperingatkan agar tidak ada langkah sepihak yang bisa membahayakan warga sipil dan menegaskan pentingnya mematuhi perjanjian gencatan senjata tahun 2020.
Di sisi ekonomi, Dewan Keamanan mendorong percepatan penyusunan anggaran terpadu. Langkah ini dinilai sebagai kunci untuk menstabilkan keuangan negara dan memulihkan layanan publik yang selama ini terabaikan akibat konflik.
Kabar positif datang dari pelaksanaan pemilu tingkat lokal. Sebanyak 34 kota berhasil menggelar pemilihan dewan kota, yang dipuji sebagai tonggak penting dalam membangun kembali legitimasi politik di tingkat akar rumput.
Komisi Pemilihan Nasional Libya pun mendapat apresiasi atas kerja kerasnya. PBB menilai keberhasilan pemilu ini bisa menjadi modal awal untuk menyelenggarakan pemilu nasional yang lebih luas dan demokratis.
Selain itu, perhatian khusus juga diberikan pada keterlibatan perempuan dalam politik. Dewan Keamanan menekankan pentingnya partisipasi penuh, aman, dan setara bagi kaum perempuan, sebagai bagian dari fondasi demokrasi Libya di masa depan.
Dengan visi Tripoli menuju teknologi ala Korea Selatan dan Tobruk menuju program pertahanan ala Korea Utara, Libya seolah menghadapi dua jalan berbeda yang bisa berjalan paralel. Perbedaan ini, menurut sebagian analis, justru dapat menciptakan keseimbangan unik jika dikelola dengan baik.
Namun, jalan menuju impian itu tidaklah mudah. Rintangan berupa rivalitas politik, perbedaan kepentingan, dan rapuhnya keamanan masih menghantui setiap langkah. Butuh komitmen besar dari para pemimpin Libya untuk menempatkan kepentingan rakyat di atas kepentingan kelompok.
Banyak kalangan percaya bahwa perpaduan visi sipil Tripoli dan kekuatan militer Tobruk bisa menjadi model baru bagi Libya. Sebuah negara yang tak hanya kuat secara militer, tetapi juga maju secara teknologi dan ekonomi.
Kini, harapan terbesar terletak pada kesediaan kedua belah pihak untuk mencari titik temu. Jika itu tercapai, Libya berpotensi keluar dari bayang-bayang perang dan menjelma menjadi negara dengan arah pembangunan yang unik di dunia Arab.
Dengan dukungan internasional, stabilitas politik, serta keberanian mengambil langkah berani, Libya masih memiliki peluang besar untuk menulis babak baru sejarahnya. Babak di mana konflik berkepanjangan digantikan oleh pembangunan, dan keterbelahan politik disulap menjadi harmoni demi masa depan rakyat.
No comments