Sudan Butuh 1 Triliun Dolar Lebih untuk Rekonstruksi Pasca Konflik


Pertemuan Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi dengan Perdana Menteri transisi Sudan Kamil Idris di Kairo menjadi sorotan besar bukan hanya karena membahas stabilitas kawasan, tetapi juga karena angka fantastis biaya rekonstruksi Sudan pascaperang yang diperkirakan mencapai lebih dari 1 triliun dolar AS. Jumlah itu jauh lebih tinggi dibandingkan estimasi kebutuhan rekonstruksi Suriah.

Dalam pertemuan tersebut, Sisi menegaskan kembali dukungan penuh Mesir terhadap kesatuan, kedaulatan, dan integritas teritorial Sudan. Ia menyatakan bahwa Mesir akan berdiri di belakang Sudan dalam upaya memulihkan keamanan, mengakhiri krisis kemanusiaan, dan menjaga sumber daya rakyat Sudan.

Kamil Idris, dalam kunjungan luar negeri pertamanya sebagai perdana menteri transisi, membawa pesan bahwa Sudan tengah berupaya mencari dukungan regional dan internasional. Pilihan pertama ke Kairo dianggap strategis karena Mesir adalah tetangga dekat sekaligus mitra tradisional yang menampung jutaan pengungsi Sudan selama perang.

Pembicaraan di Kairo juga menyinggung rekonstruksi besar-besaran yang diperlukan untuk mengembalikan Sudan dari kehancuran. Menurut otoritas Sudan, biaya membangun kembali ibu kota Khartoum saja diperkirakan mencapai 300 miliar dolar. Sementara itu, rekonstruksi di wilayah lain diperkirakan membutuhkan tambahan 700 miliar dolar.

Jika dijumlahkan, total kebutuhan rekonstruksi Sudan mencapai sekitar 1 triliun dolar lebih, angka yang mengejutkan dunia internasional. Perbandingan pun segera muncul: biaya rekonstruksi Suriah, meski juga hancur lebur akibat perang bertahun-tahun, diperkirakan jauh lebih rendah dari itu.

Fakta bahwa Sudan memerlukan dana hampir dua kali lipat dari Suriah menunjukkan skala kehancuran yang luar biasa. Infrastruktur dasar seperti listrik, air, sekolah, rumah sakit, jalan, dan fasilitas publik lainnya dilaporkan hancur total di banyak wilayah.

Sementara itu, Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA) melaporkan bahwa dari rencana respons kemanusiaan global senilai 4,6 miliar dolar untuk Sudan, baru 23 persen yang berhasil didanai. Angka itu memperlihatkan kesenjangan besar antara kebutuhan mendesak dan realisasi bantuan.

Dalam konferensi pers bersama Perdana Menteri Mesir Mostafa Madbouly, Kamil Idris menyampaikan terima kasih kepada Mesir yang menampung jutaan warga Sudan di tengah “perang brutal” yang memaksa mereka mengungsi. Ia menegaskan hubungan Sudan-Mesir “tidak akan pernah terputus.”

Madbouly menambahkan harapannya agar Sudan segera keluar dari krisis untuk melindungi warga sipil, mengurangi penderitaan rakyat, serta menjaga sumber daya dan kedaulatan negara. Ia menolak segala bentuk campur tangan asing yang dapat mengancam persatuan Sudan.

Kedua negara sepakat untuk meningkatkan kerja sama bilateral melalui mekanisme politik, teknis, dan konsultatif. Kesepakatan ini mencakup berbagai sektor, mulai dari energi, pembangunan, hingga koordinasi keamanan di perbatasan.

Para pengamat menilai perjalanan Idris ke Kairo sangat simbolis. Dengan menjadikan Mesir sebagai tujuan pertama, ia ingin mengirimkan pesan bahwa rekonstruksi Sudan membutuhkan dukungan penuh dari tetangga terdekat sekaligus membuka jalan bagi dukungan internasional yang lebih luas.

Mesir di sisi lain melihat krisis Sudan sebagai ancaman langsung bagi stabilitasnya. Gelombang pengungsi, gangguan perdagangan lintas batas, hingga ancaman keamanan di kawasan perbatasan menjadikan Kairo berkepentingan besar agar Sudan segera stabil.

Namun, tantangan rekonstruksi tidak bisa dianggap enteng. Dengan biaya yang mencapai 1 triliun dolar, Sudan memerlukan dukungan global dalam skala besar. Tanpa itu, mimpi membangun kembali negeri bisa berlarut-larut dalam stagnasi dan ketergantungan pada bantuan kemanusiaan.

Dibandingkan dengan Suriah, di mana kehancuran banyak terpusat di wilayah perkotaan, perang Sudan telah meluas hampir ke seluruh provinsi. Inilah yang membuat biaya rekonstruksi Sudan membengkak jauh lebih besar.

Selain kerusakan fisik, Sudan juga menghadapi kehancuran ekonomi. Nilai mata uang jatuh, lembaga-lembaga negara lumpuh, dan produktivitas pertanian yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi ikut terhenti akibat perang.

Para analis memperkirakan bahwa rekonstruksi Sudan hanya mungkin dilakukan jika ada paket internasional komprehensif. Keterlibatan Mesir, negara Teluk, Uni Afrika, hingga lembaga keuangan global akan sangat menentukan.

Idris sendiri menekankan bahwa rekonstruksi bukan hanya soal fisik, tetapi juga tentang membangun kembali persatuan nasional. Ia menyebut visi rekonstruksi harus melibatkan semua kelompok Sudan agar tidak mengulang lingkaran konflik.

Masyarakat internasional kini menghadapi ujian serius: apakah bersedia menyisihkan dana besar untuk Sudan di tengah banyak krisis global lainnya. Jika tidak, Sudan berisiko terjebak dalam kehancuran permanen.

Dengan biaya rekonstruksi yang mencengangkan, Sudan kini menjadi kasus paling berat di antara negara-negara pascaperang modern. Tantangan ke depan bukan hanya mengumpulkan dana, tetapi juga memastikan bahwa rekonstruksi membawa perdamaian berkelanjutan, bukan sekadar bangunan baru di atas tanah yang masih berkonflik.

No comments