Di tengah konflik berkepanjangan di Sudan, persaingan antara pemerintahan versi Khartoum dan pemerintahan tandingan di Nyala, yang dikenal sebagai TASIS, semakin menampakkan diri. Kedua pihak kini saling adu pamer kekuasaan melalui kunjungan pejabat mereka ke pasar-pasar dan wilayah yang dikuasai.
Langkah terbaru datang dari Khartoum, ketika Letnan Jenderal Shams al-Din Kabashi, anggota Dewan Kedaulatan Transisi dan wakil komandan angkatan darat, melakukan lawatan ke Kordofan Utara. Dalam kunjungan itu, Kabashi menegaskan tekad pemerintahannya untuk merebut kembali Darfur dari tangan Rapid Support Forces (RSF) yang didukung TASIS.
Kabashi menyatakan bahwa El Obeid, ibu kota Kordofan Utara, akan menjadi pusat utama peluncuran operasi militer menuju Darfur. Ia menekankan bahwa beberapa kota strategis seperti Al-Khuwayy, En-Nahud, dan Ad-Dubaibat akan dijadikan basis pendukung sebelum operasi besar di El Fasher, yang disebutnya sebagai pintu gerbang menuju seluruh Darfur.
Pernyataan Kabashi itu semakin mempertegas sikap keras Khartoum yang menolak segala bentuk negosiasi damai. Menurutnya, perang hanya akan berakhir dengan penyerahan penuh pihak yang disebutnya sebagai “pengkhianat dan pemberontak.” Pesan ini jelas ditujukan kepada RSF dan pemerintahan tandingan di Nyala.
Tak hanya retorika, Kabashi juga mengumumkan langkah praktis dengan memerintahkan pasukan untuk segera mengosongkan 53 sekolah dan fasilitas sipil di El Obeid. Keamanan kota, katanya, akan diserahkan kepada polisi dan aparat keamanan lainnya agar warga kembali merasa aman.
Sementara itu, kubu Nyala yang didukung RSF tidak tinggal diam. Pejabat militer dari Darfur Tengah menggelar kunjungan serupa ke pasar Zalingei. Kehadiran mereka ditujukan untuk menunjukkan bahwa wilayah di bawah kendali TASIS telah menikmati stabilitas dan ketertiban.
Dalam kunjungan itu, Komandan RSF Mohammed Adam Al-Banjuz menegaskan bahwa prioritas utama pemerintahannya adalah kesejahteraan warga. Ia juga mengumumkan adanya nomor darurat khusus bagi para pedagang untuk melaporkan masalah keamanan seperti pencurian.
Delegasi TASIS turut meyakinkan bahwa masyarakat di Darfur kini dapat menjalankan aktivitas ekonomi dengan aman. Pernyataan itu diperkuat dengan testimoni langsung dari sejumlah pedagang yang diwawancarai di pasar Zalingei. Mereka mengaku puas dengan kondisi keamanan yang relatif lebih baik dibanding sebelumnya.
Pedagang juga menyampaikan harapan agar stabilitas ini bisa terus dijaga. Mereka menekankan bahwa rasa aman di pasar menjadi kunci keberlangsungan perdagangan, terutama di tengah situasi konflik nasional yang belum menunjukkan tanda mereda.
Aksi kunjungan ini dianggap sebagai upaya pemerintahan Nyala menegaskan eksistensinya di tengah rivalitas dengan Khartoum. Dengan menampilkan sisi keseharian masyarakat, TASIS ingin menunjukkan legitimasi de facto yang mereka miliki di wilayah Darfur.
Dua peristiwa kunjungan tersebut menegaskan pola baru dalam persaingan: bukan hanya pertempuran bersenjata, tetapi juga adu pencitraan di ruang publik. Pasar dipilih sebagai simbol stabilitas karena merupakan pusat kehidupan warga.
Khartoum berusaha meyakinkan bahwa mereka masih memiliki kendali strategis untuk merebut kembali Darfur, sementara Nyala menonjolkan citra sebagai pemerintahan yang bisa memberikan ketertiban bagi warganya.
Kedua narasi ini saling bertolak belakang, tetapi sama-sama diarahkan untuk memenangkan simpati rakyat sekaligus dukungan internasional. Dalam konflik berkepanjangan, legitimasi politik tidak hanya diukur dari kekuatan senjata, tetapi juga dari kemampuan mengelola kehidupan sipil.
Namun, situasi di lapangan masih penuh ketidakpastian. Meski TASIS menampilkan kondisi aman di pasar, laporan kemanusiaan dari Darfur masih menunjukkan krisis serius akibat pertempuran dan blokade distribusi bantuan.
Sementara itu, ancaman ofensif baru dari Khartoum berpotensi memperburuk keadaan. Jika operasi militer besar benar-benar diluncurkan dari El Obeid, maka Darfur bisa kembali menjadi medan tempur yang menelan korban sipil.
Bagi warga, kunjungan pejabat dari kedua kubu sejatinya hanya memberikan sedikit harapan. Mereka lebih menginginkan jaminan nyata atas keselamatan, akses pangan, dan layanan dasar, dibanding sekadar pernyataan politik.
Meski begitu, pamer kunjungan ke pasar tetap memiliki dampak simbolis. Ia memperlihatkan bahwa perang di Sudan kini juga diperebutkan di ruang persepsi, bukan hanya di garis depan.
Dalam jangka panjang, tanpa penyelesaian politik yang inklusif, aksi semacam ini hanya akan menjadi episode singkat di tengah konflik berkepanjangan. Adu pamer pejabat tidak akan mampu menggantikan kebutuhan mendesak warga akan perdamaian.
Perkembangan ini menunjukkan bahwa Sudan kini menghadapi perang ganda: perang fisik di medan tempur, dan perang citra di hadapan rakyat serta dunia internasional. Keduanya saling berkaitan dan menentukan arah masa depan negara itu.
Jika rivalitas ini terus berlanjut, masa depan Darfur dan Sudan secara keseluruhan masih akan diliputi ketidakpastian. Antara ofensif Khartoum dan pencitraan Nyala, rakyat tetap menjadi pihak yang paling rentan dan paling membutuhkan perlindungan nyata.
RSF sempat menguasai 70 persen Sudan saat Rusia (melalui Wagner), UAE, Ethiopia, Sudan Selatan dkk memberikan dukungan. Namun saat Rusia beralih dukungan ke Khartoum dengan imbalan pangkalan angkatan laut di Sudan, keadaan berbalik. Kini RSF hanya menguasai 1/3 wilayah Sudan.
No comments