Kabar mengejutkan datang dari Jalur Gaza setelah laporan media IsraelHayom mengungkap dugaan keterlibatan Israel dalam membentuk dan mendukung kelompok bersenjata lokal untuk menggoyang pemerintahan yang berkuasa di Gaza. Tuduhan ini mencuat usai insiden bentrokan di Rafah Timur yang memakan korban jiwa dan memperkeruh situasi politik internal Palestina.
Kelompok milisi yang disebut-sebut bernama “Pasukan Rakyat” dipimpin seorang tokoh kontroversial bernama Abu Shabab. Pemerintah Gaza yang dipimpin Hamas menuduh pria ini sebagai alat Israel yang sengaja ditanam untuk memecah belah solidaritas rakyat Palestina. Seorang sumber lokal menyebutnya sebagai boneka yang dipakai untuk memperlemah front perlawanan dari dalam.
Dalam beberapa pekan terakhir, bentrokan bersenjata antara Pasukan Rakyat dan pasukan keamanan pemerintah terus terjadi di wilayah timur Rafah.
Sementara itu, juru bicara Pasukan Rakyat justru balik menuding pemerintah di Gaza sebagai otoritas ilegal yang telah kehilangan legitimasi. Menurutnya, protes warga selama beberapa bulan terakhir menjadi bukti bahwa rakyat muak dengan praktik korupsi, penimbunan bantuan kemanusiaan, dan penguasaan sepihak atas sumber daya di wilayah itu.
Abu Shabab sendiri, dalam rekaman suara yang beredar, menyerukan agar warga di Rafah Timur kembali ke rumah masing-masing karena situasi telah aman. Ia menjanjikan ketersediaan obat-obatan, makanan, dan perlindungan, serta bertekad melawan ketidakadilan yang menurutnya dilakukan oleh otoritas yang berkuasa di Gaza.
Lebih jauh, kelompok Pasukan Rakyat mengklaim berhasil merebut kendali atas beberapa wilayah di Rafah Timur dan mengamankan jalur distribusi bantuan kemanusiaan dari luar negeri. Mereka juga menyatakan telah menjalin koordinasi dengan Otoritas Palestina di Tepi Barat, sesuatu yang dianggap sebagai pengkhianatan oleh pemerintahan di Gaza.
Dalam pernyataannya, pemerintah Gaza menyebut milisi Abu Shabab sebagai kelompok kriminal yang dipersenjatai oleh Israel. Mereka merujuk pernyataan kontroversial mantan Menteri Pertahanan Israel, Avigdor Liberman, yang sempat menyiratkan bahwa Israel memiliki hubungan diam-diam dengan kelompok bersenjata di Gaza.
Seorang sumber keamanan di Gaza menyebut dinamika ini sebagai ancaman serius yang dapat menarik simpati sejumlah warga yang selama ini kecewa terhadap pemerintahan yang berkuasa. Apalagi dengan kondisi ekonomi yang memburuk, genosida yang berlanjut oleh Israel dan distribusi bantuan kemanusiaan yang tidak merata, ketegangan sosial mudah sekali disulut.
Konflik internal ini dinilai dapat memperlemah posisi pemerintahan di Gaza yang saat ini menghadapi tekanan militer dari Israel dan ketegangan diplomatik regional. Israel diduga sengaja mendorong perpecahan di dalam wilayah tersebut guna memperlemah kemampuan pemerintah dalam mengendalikan wilayah dan menghadapi serangan dari luar.
Menurut analis Timur Tengah, kolusi semacam ini sudah beberapa kali terjadi dalam sejarah konflik Israel-Palestina. Dalam situasi terburuk, Israel menggunakan taktik proxy war dengan membiayai atau mendukung kelompok tertentu untuk menantang otoritas yang mengganggu kepentingannya di wilayah pendudukan.
Pemerintah Gaza mengingatkan bahwa tindakan Abu Shabab dan milisinya bukan saja membahayakan keamanan sipil, tetapi juga memberi celah bagi Israel untuk memperluas operasi militernya. Mereka menyebut kelompok ini sebagai alat asing yang disamarkan sebagai pasukan pembela rakyat.
Warga sipil di Rafah Timur mengaku khawatir dengan situasi yang berkembang. Banyak yang takut terjebak di antara dua kekuatan bersenjata, apalagi wilayah itu sudah sejak lama menjadi target serangan udara Israel dan blokade ketat yang memperparah krisis kemanusiaan.
Sementara itu, kelompok Pasukan Rakyat terus memanfaatkan isu distribusi bantuan kemanusiaan sebagai alat propaganda untuk menggalang dukungan rakyat. Mereka menuding pemerintah Gaza menjual bantuan di pasar gelap dan memonopoli akses bantuan bagi kalangan tertentu.
Di tingkat regional, isu ini memicu reaksi beragam. Beberapa pejabat Pemeritahan Palestina di ibukota sementara Ramallah dilaporkan tertarik menjajaki kerja sama dengan kelompok Abu Shabab demi melemahkan posisi pemerintahan di Gaza, meski hal ini belum diakui secara terbuka.
Pemerintah Gaza pun memperingatkan Mesir dan Qatar, dua mediator utama Palestina, untuk tidak terjebak dalam skema politik Israel yang bertujuan menciptakan kekacauan internal di wilayah tersebut. Mereka mendesak kedua negara itu tetap menjaga posisi netral dan mendorong rekonsiliasi nasional.
Analis keamanan menyebut, jika situasi ini dibiarkan, bisa saja Gaza terpecah ke dalam kantong-kantong wilayah kecil yang dikendalikan kelompok-kelompok milisi bersenjata. Hal itu akan memperburuk stagnasi politik Palestina dan memudahkan Israel mengendalikan situasi.
Krisis internal ini menjadi preseden berbahaya, di mana kekuatan eksternal diduga berkolaborasi dengan tokoh lokal untuk merusak persatuan rakyat Palestina. Jika dibiarkan, bukan tidak mungkin konflik bersenjata antar faksi akan kembali pecah secara luas di Jalur Gaza.
Pemerintah Gaza menyatakan akan menindak tegas siapa pun yang terbukti berkhianat dan bekerja sama dengan Israel. Mereka berjanji akan membersihkan wilayah itu dari infiltrasi kelompok-kelompok bayaran yang mengancam keamanan nasional Palestina.
Sampai saat ini, bentrokan sporadis masih terjadi di sejumlah wilayah di Rafah dan Khan Younis. Situasi keamanan di Gaza kian rapuh, dan Israel diperkirakan akan terus memanfaatkan perpecahan ini untuk mengatur ulang peta kekuasaan di wilayah kantong Palestina tersebut.
Di Jalur Gaza, pemerintahan yang dikelola otoritas lokal sejak 2007 memiliki struktur pemerintahan semi lengkap dengan sejumlah kementerian yang menjalankan berbagai urusan sipil, sosial, ekonomi, dan keamanan. Jumlah kementerian yang aktif di Gaza saat ini mencapai sekitar 18 lembaga utama, mulai dari Kementerian Dalam Negeri, Kesehatan, Pendidikan, Ekonomi, hingga Urusan Wakaf dan Agama. Struktur ini berjalan secara de facto meski tak diakui oleh Pemerintahan Palestina di Ramallah yang secara sepihak membubarkan pemerintahan sah Hamas dan parlemenn.
Hubungan antara pemerintahan di Gaza dan Ramallah sangat rumit dan penuh ketegangan sejak perpecahan politik yang dimulai setelah Pemilu 2006. Salah satu isu paling sensitif adalah soal gaji para pegawai negeri sipil di Jalur Gaza. Sejak 2007, setelah pemerintah di Ramallah kehilangan kendali atas Gaza, gaji sebagian besar pegawai sipil di sana dibekukan atau dibayarkan secara tidak rutin.
Ramallah selama bertahun-tahun hanya membayarkan gaji pegawai yang dianggap loyal kepada pemerintahan pusat Ramallah, sementara pegawai yang bekerja di bawah struktur pemerintahan Gaza hasil pemilu 2006 kerap diabaikan. Banyak dari pegawai di Gaza akhirnya menerima gaji parsial atau bantuan insentif dari pemerintahan lokal di Gaza, yang bersumber dari pendapatan pajak lokal dan bantuan kemanusiaan terbatas.
Kondisi ini memperburuk ketegangan di masyarakat karena menciptakan ketimpangan kesejahteraan di antara pegawai negeri. Pemerintah Gaza berulangkali menuduh Ramallah menggunakan kebijakan gaji sebagai alat tekanan politik untuk memperlemah legitimasi pemerintahan lokal. Di sisi lain, Ramallah menuding pemerintah Gaza melakukan perekrutan ilegal dan membangun pemerintahan paralel yang bertentangan dengan perjanjian nasional.
Ketegangan ini juga berdampak langsung terhadap layanan publik karena banyak pegawai pemerintah di Gaza terpaksa bekerja tanpa kepastian upah tetap, sementara kebutuhan masyarakat terus meningkat akibat blokade Israel dan krisis kemanusiaan berkepanjangan. Hingga kini, berbagai upaya rekonsiliasi yang difasilitasi Mesir dan Qatar selalu kandas, salah satunya karena isu sensitif soal penggajian pegawai ini.
Situasi ini turut dimanfaatkan Israel dalam taktik pecah belah, di mana ketegangan internal antara Gaza dan Ramallah dimaksimalkan untuk memperlemah posisi Palestina secara keseluruhan dalam percaturan politik regional. Sebagian pengamat menyebut selama dua pemerintahan ini tidak mampu menyatukan kebijakan dan menyelesaikan sengketa administratif seperti soal gaji pegawai dan pengakuan jabatan, maka perjuangan politik Palestina akan terus terbelah dan stagnasi.
No comments