Kesejahteraan dan Keadilan Ekonomi Jadi Isu Utama di Politik Hadramut Yaman


Provinsi Hadramaut kini menjadi episentrum ketegangan politik baru di Yaman. Di tengah konflik nasional yang tak kunjung selesai, provinsi terbesar dan terkaya itu menghadapi dua arus besar: antara tuntutan kemerdekaan penuh dan opsi otonomi dalam kerangka negara persatuan. Kondisi ini membuat Hadramaut tak sekadar menjadi panggung politik lokal, melainkan ajang perebutan pengaruh antar kekuatan regional dan internasional yang berkepentingan atas kekayaan alamnya.

Secara geografis dan ekonomi, Hadramaut memegang posisi vital. Wilayah ini mencakup sekitar 36% dari luas daratan Yaman dan memiliki pelabuhan-pelabuhan strategis seperti Mukalla dan Al-Shihr, serta Pelabuhan Minyak Al-Dabba yang menjadi nadi utama ekspor minyak negeri itu. Lebih dari 80% produksi minyak Yaman berasal dari wilayah ini, menjadikannya lumbung devisa yang diperebutkan berbagai kekuatan politik dan militer.

Di Hadramaut, ketegangan politik bukanlah hal baru. Sejak 2013, sejumlah aliansi suku lokal membentuk Himpunan Suku Hadramaut sebagai wadah memperjuangkan hak-hak politik dan ekonomi mereka. Awalnya bersifat sosial-budaya, namun perlahan berkembang menjadi kekuatan politik signifikan yang kini menuntut otonomi bahkan opsi menentukan nasib sendiri di tengah kekacauan nasional.

Pekan-pekan terakhir, provinsi ini kembali panas setelah aliansi suku tersebut menggelar demonstrasi besar-besaran yang secara terang-terangan menyerukan otonomi penuh. Ini adalah pergerakan politik paling terbuka dalam satu dekade terakhir, menandai babak baru dinamika Hadramaut yang selama ini cenderung adem di permukaan namun bergejolak di bawah.

Dewan Transisi Selatan (STC) yang selama ini mengusung agenda separatisme di Yaman selatan, tak tinggal diam. Mereka mengerahkan pasukan dari wilayah Aden, Lahij, dan Dhale ke perbatasan Hadramaut. Langkah ini memicu ketegangan baru karena dianggap sebagai upaya memaksakan pengaruh luar terhadap wilayah yang selama ini dikenal memiliki kekuatan suku yang solid dan resisten terhadap intervensi eksternal.

Aliansi suku Hadramaut, dalam pernyataannya, menolak kehadiran pasukan STC. Mereka menyebut masuknya lebih dari 2.500 milisi dari luar provinsi pada April lalu sebagai ancaman langsung terhadap kedaulatan lokal dan upaya merusak tatanan sosial di wilayah mereka. Ketegangan ini pun diperparah oleh pernyataan keras sejumlah tokoh lokal yang menuduh pemerintah pusat di Aden gagal menjaga netralitas wilayah Hadramaut.

Di tengah situasi ini, dua opsi politik mengemuka bagi Hadramaut: merdeka sepenuhnya atau memperoleh otonomi khusus dalam kerangka negara Yaman yang bersatu. Pilihan merdeka memang menggoda sebagian elit lokal, mengingat potensi ekonomi yang dimiliki wilayah ini cukup untuk menopang pemerintahan mandiri. Namun, opsi ini berisiko memicu reaksi keras dari pemerintah pusat dan negara-negara regional.

Sementara opsi otonomi dinilai lebih realistis dan dapat diterima banyak pihak. Dengan status otonomi, Hadramaut bisa mengelola sendiri kekayaan alamnya, membentuk angkatan keamanan lokal, serta menentukan kebijakan ekonomi dan sosial tanpa harus terlepas dari kerangka negara Yaman. Sejumlah analis menilai, opsi ini lebih masuk akal untuk jangka menengah, sembari menunggu kondisi politik nasional stabil.

Saat ini, pemerintahan lokal Hadramaut memang berperan penting dalam meredam ketegangan. Namun lemahnya pengaruh pemerintah pusat di wilayah ini membuat aliansi suku dan kelompok bersenjata lokal semakin percaya diri mengambil peran politik lebih besar. Kondisi inilah yang membuat ketegangan di Hadramaut berbeda dari wilayah-wilayah lain di Yaman.

Pelabuhan Mukalla dan Al-Shihr menjadi titik strategis tak hanya untuk perdagangan minyak, tapi juga sebagai jalur logistik utama ke provinsi-provinsi timur dan selatan Yaman. Kepentingan atas pelabuhan ini membuat Hadramaut menjadi rebutan, tak hanya antara kelompok lokal dan pemerintah pusat, tapi juga kekuatan regional seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab.

Keberadaan cadangan minyak terbesar di Yaman di wilayah ini membuatnya menjadi target pengaruh politik luar. Tidak heran jika setiap perkembangan di Hadramaut selalu mendapat perhatian khusus dari Riyadh dan Abu Dhabi. Kedua negara memiliki kepentingan agar wilayah ini tetap stabil dan bisa dikendalikan sesuai alur geopolitik regional.

Sejumlah pengamat memprediksi, bila situasi politik nasional Yaman tak kunjung membaik, Hadramaut akan semakin berani menempuh opsi otonomi. Aliansi suku yang kuat, kontrol atas sumber daya energi, dan posisi geografis yang strategis menjadi faktor penentu yang bisa mengantarkan wilayah ini memperoleh status politik khusus.

Namun, suara kehati-hatian datang dari sejumlah tokoh masyarakat dan pers lokal. Mereka menilai, terlalu dini bicara kemerdekaan atau otonomi jika kondisi ekonomi rakyat Hadramaut masih tertinggal. Saat ini, banyak wilayah pedalaman Hadramaut masih terisolasi, akses kesehatan terbatas, dan tingkat pengangguran tinggi di kalangan pemuda.

Oleh sebab itu, langkah bijak saat ini menurut sebagian kalangan adalah fokus membenahi infrastruktur, meningkatkan layanan publik, dan memaksimalkan pengelolaan hasil minyak untuk kesejahteraan rakyat Hadramaut. Baru setelah itu, wacana soal status politik wilayah ini bisa dibicarakan lebih rasional dan terbuka.

Sejumlah analis juga menilai, opsi otonomi dengan pola federalisme longgar bisa menjadi jalan tengah yang menghindarkan Hadramaut dari konflik bersenjata terbuka. Dengan pola ini, wilayah tersebut bisa tetap menjadi bagian dari negara Yaman, tapi memiliki keleluasaan mengatur kebijakan ekonomi, pendidikan, dan keamanan sendiri.

Apapun keputusannya nanti, Hadramaut tetap menjadi provinsi kunci dalam peta politik Yaman. Jika konflik di wilayah ini meledak, dampaknya akan merembet ke seluruh kawasan selatan dan timur Yaman, bahkan bisa mempengaruhi jalur perdagangan minyak di Laut Arab dan Teluk Aden yang selama ini menjadi urat nadi ekonomi kawasan.

No comments