Libya Timur Pamer Senjata Baru dari Rusia


Di tengah konflik berkepanjangan yang memecah Libya menjadi dua pemerintahan de facto, kekuatan militer masing-masing kubu terus berlomba memperkuat diri. Dalam parade militer yang digelar di Benghazi pada 26 Mei lalu, militer Libya versi pemerintahan Timur di bawah pimpinan Jenderal Khalifa Haftar memperlihatkan sejumlah alutsista baru yang mencuri perhatian. Parade tersebut menampilkan sederet persenjataan modern buatan Rusia, menandai peningkatan signifikan dalam arsenal militer Libya Timur sepanjang setahun terakhir.

Di antara peralatan baru yang ditampilkan adalah dua unit sistem pertahanan udara Tor-M1-2U dan dua peluncur roket BM-30 Smerch kaliber 300 mm. Kehadiran sistem Tor tersebut merupakan yang pertama kalinya terlihat dalam parade militer Libya Timur, menandakan bahwa Moskow memang aktif memasok alutsista ke pasukan Haftar. Sistem Tor dikenal efektif untuk menghadang ancaman udara jarak pendek hingga menengah, termasuk drone, rudal jelajah, dan pesawat tempur.
Selain itu, parade itu juga memperlihatkan deretan kendaraan tempur infanteri, meriam anti-pesawat ZSU-23-4 Shilka, dan tank-tank T-62 yang sudah mengalami upgrade. Meski usia tank-tank ini terbilang tua, pembaruan sistem optik dan persenjataan membuatnya tetap relevan di medan perang gurun Libya. Beberapa kendaraan tempur diduga berasal dari sisa stok lama Rusia atau bahkan rampasan dari konflik di Suriah yang didistribusikan ulang ke Libya.

Sumber intelijen regional menyebut bahwa Rusia selama ini memang menjaga jalur suplai senjata ke Libya Timur melalui pelabuhan Tobruk dan pangkalan udara al-Khadim, yang sudah lama dikuasai oleh kelompok Haftar. Selain peralatan berat, sejumlah drone pengintai dan amunisi berpemandu presisi juga dilaporkan masuk dalam paket bantuan militer dari Moskow ke Benghazi.

Sementara itu, di Tripoli, pemerintahan rival yang diakui oleh PBB masih mengandalkan alutsista buatan Turki. Ankara menjadi penyokong utama militer Pemerintah Persatuan Nasional (GNU) sejak 2019, dengan mengirimkan drone Bayraktar TB2, sistem pertahanan udara Korkut, hingga kapal serbu cepat. Kolaborasi ini terbukti mengubah peta kekuatan saat Tripoli mampu memukul mundur pasukan Haftar dari ibu kota pada 2020 lalu.

Kini, keseimbangan kekuatan antara dua pemerintahan Libya ini semakin menarik dicermati. Dengan masuknya Tor dan BM-30 Smerch ke kubu Timur, Pemerintah Haftar jelas berupaya mengimbangi dominasi udara dan artileri Turki yang selama ini menjadi keunggulan Tripoli. Sistem BM-30 misalnya, mampu meluncurkan proyektil hingga jarak 90 km, jauh melampaui jangkauan artileri konvensional di wilayah tersebut.

Meski demikian, Pemerintah Tripoli tetap memegang keunggulan teknologi lewat drone tempur Bayraktar yang terbukti efektif dalam peperangan bergerak di wilayah padang pasir Libya. Dalam berbagai serangan sebelumnya, drone-drone ini berhasil menghancurkan konvoi logistik, sistem pertahanan udara, hingga posisi artileri pasukan Haftar dengan presisi tinggi.

Keunggulan udara yang dipegang Tripoli memang membuat Haftar terpaksa memperkuat sistem pertahanan udara jarak pendek seperti Tor, guna mengantisipasi gelombang serangan drone di medan terbuka. Selain itu, pengiriman rudal BM-30 juga diyakini bertujuan untuk memberikan daya tembak jarak jauh yang mampu menjangkau posisi militer Tripoli tanpa harus terlalu dekat ke garis depan.

Namun di sisi lain, Pemerintah Tripoli didukung langsung oleh Turki secara diplomatik dan logistik, termasuk pelatihan militer di pangkalan Mitiga. Turki secara rutin mengirimkan peralatan komunikasi, kendaraan lapis baja, dan peralatan tempur modern lain untuk memperkuat posisi Tripoli di Libya barat.

Sementara di Timur, Haftar juga membangun aliansi senyap dengan Rusia dan sejumlah kontraktor militer bayaran seperti Wagner Group. Meski Wagner secara formal telah mundur dari beberapa area, namun jaringan mereka diyakini masih aktif di beberapa titik strategis di Libya Timur, khususnya untuk operasi pengamanan fasilitas minyak dan pelabuhan.

Secara keseluruhan, kekuatan militer di Libya kini terbagi dalam dua blok besar: Timur dengan pasokan Rusia dan Selatan yang dikuasai Haftar, serta Barat yang dipersenjatai Turki. Keduanya masih mengandalkan pasokan dari luar negeri untuk memperkuat posisi masing-masing karena industri pertahanan domestik Libya nyaris lumpuh sejak 2011.

Jika perang total pecah kembali, keseimbangan militer akan sangat ditentukan oleh efektivitas sistem pertahanan udara dan serangan drone. Tripoli memiliki keunggulan drone tempur dan dukungan logistik cepat dari Turki, sedangkan Haftar mengandalkan rudal jarak jauh dan sistem pertahanan udara baru untuk menahan serangan.

Dalam kondisi saat ini, pengamat militer memperkirakan keunggulan Tripoli di udara masih sulit ditandingi, sementara Haftar lebih unggul dalam artileri berat dan penguasaan area pedalaman. Perang darat bisa berjalan berimbang, tetapi di langit Libya, drone-drone Turki tetap menjadi ancaman utama bagi pasukan Timur.

Konflik ini sekaligus mencerminkan persaingan geopolitik lebih luas antara Turki dan Rusia di Afrika Utara. Masing-masing negara memanfaatkan faksi lokal sebagai proxy untuk mengamankan kepentingan minyak dan pengaruh strategis di wilayah pesisir Mediterania. Seiring terus masuknya alutsista baru dari kedua negara, Libya diprediksi tetap jadi arena pertarungan proksi paling aktif di kawasan itu.

No comments