Upaya penyelundupan senjata di pedesaan Damaskus kembali menjadi sorotan setelah pasukan keamanan Suriah menggagalkan pengiriman amunisi yang ditujukan untuk Pasukan Demokratik Suriah (SDF). Penangkapan ini membuka wacana baru mengenai adanya sisa-sisa jaringan rezim lama yang justru ikut berperan dalam mendukung kelompok anti-Damaskus yang kini dipimpin Presiden Ahmed Al Sharaa.
Dalam operasi terbaru itu, Kementerian Dalam Negeri Suriah menyita senjata yang disembunyikan di dalam kendaraan dan menahan sopir yang diduga sebagai kurir. Senjata itu diperkirakan berasal dari gudan-gudang penyimpanan rahasia eks rejim yang belum dipetakan oleh pemerinatahan baru.
Temuan ini memperlihatkan bagaimana jalur senjata masih terbuka, bahkan ketika pemerintah Suriah berusaha memperketat pengawasan di wilayah sekitar ibu kota.
Menurut analis politik Suriah, Dr. Osama al-Malouhi, penyelundupan kali ini bukan insiden tunggal. Ia menilai ada pola berulang yang mengindikasikan keterlibatan elemen eks rezim Assad yang kini bergerak di bawah tanah. Mereka disebut-sebut menjalin kontak dengan SDF dan milisi lain, termasuk kelompok milisi al-Hajri Druze yang pro-Israel.
Dr. al-Malouhi menyebut keterlibatan itu bisa jadi bagian dari strategi ganda: sebagian eks pejabat atau perwira lama berupaya menyelamatkan diri dengan membuka saluran ke pihak lawan, sembari tetap menjaga kerahasiaan di masyarakat. Situasi ini menciptakan ruang abu-abu yang sulit dipetakan.
Ketegangan di lapangan terus meningkat, terutama di pedesaan Raqqa dan Aleppo, di mana bentrokan kecil kerap terjadi, karena diam-diam SDF Kurdi berusaha memperluas wilayahnya di kampung-kampung dekat perbatasan. Meski demikian, al-Malouhi memperkirakan SDF belum menyiapkan serangan frontal, melainkan lebih pada taktik defensif dengan membangun jaringan terowongan dan menimbun senjata.
Di sisi lain, laporan intelijen regional mengindikasikan bahwa SDF bersama sekutunya di Dewan Demokratik Suriah (SDC) terus melakukan agitasi dan agenda politik baru. Salah satunya adalah konferensi bertema anti-Damaskus yang digelar meskipun sebelumnya mereka sudah menandatangani perjanjian integrasi dengan pemerintah pusat.
Langkah politik itu dianggap paradoks, menunjukkan bahwa kesepakatan di atas kertas tidak menghapuskan sikap permusuhan di lapangan. Agitasi terus berlangsung, memanfaatkan forum-forum internasional maupun media lokal untuk menggiring opini publik agar tidak lagi percaya pada pemerintah Suriah yang baru.
Selain SDF, milisi Al Hajri telah mengumumkan pemerintahan sendiri di wilayahnya dan pembentukan tentara sendiri bernama Garda Nasional. Meski tak didukung semua kalangan Druze disebut sedang merencanakan serangan besar yang belum jelas kapan akan diluncurkan. Kabar ini membuat banyak pihak khawatir akan adanya eskalasi simultan di beberapa front sekaligus, yang bisa menggoyahkan stabilitas Suriah pasca lebih dari satu dekade konflik.
Turki ikut menyoroti perkembangan tersebut. Ankara menegaskan kembali pandangannya bahwa hubungan SDF dengan Partai Pekerja Kurdistan (PKK) adalah ancaman serius bagi keamanan nasional mereka. Karena itu, Turki terus mendesak langkah militer maupun diplomasi untuk membatasi ruang gerak SDF.
Di Washington, posisi Amerika Serikat masih menjadi perdebatan. Dukungan militer dan logistik terhadap SDF dianggap sebagian pihak di Timur Tengah sebagai salah satu faktor yang memperpanjang konflik. Dr. al-Malouhi bahkan menegaskan bahwa AS perlu didekati agar berhenti menyokong kekuatan Kurdi di Suriah utara, meski secara terbuka AS mengungkapkan mendukung integrasi SDF Kurdi ke militer Suriah.
Seruan untuk memperkuat front media juga mencuat. Menurut al-Malouhi, pemerintah perlu menggalang kampanye intensif guna mengungkap fakta penyelundupan senjata dan menyoroti kontradiksi SDF. Kampanye ini diharapkan dapat membujuk anggota Arab dalam tubuh SDF agar kembali ke pangkuan negara. Sekitar 2/3 struktur militer SDF Kurdi merupakan warga Arab meski sebagian besar merupakan 'wajib militer' yang diterapkan di wilayah itu.
Ia bahkan menyarankan agar Presiden Ahmad al-Shara turun langsung mengunjungi daerah perbatasan. Kunjungan simbolik ini diyakini dapat menguatkan moral pendukung pemerintah sekaligus melemahkan kepercayaan terhadap propaganda SDF.
Saat ini, tiga provinsi Suriah dikuasai sepenuhnya oleh SDF Kurdi; Raqqa, Deir Ezzour (sebagian) dan Hasakah
Sementara Suwaida sebagian dikuasai milisi Al Hajri Druze pro Israel. Satu provinsi dikuasai sepenuhnya oleh Israel; Quneitra, yang wilayahnya termasuk Dataran Tinggi Golan. Sisanya dikuasai oleh Damaskus.
Penyelundupan senjata yang terungkap kali ini diyakini hanya sebagian kecil dari arus senjata gelap yang masih beredar. Banyak pihak menduga bahwa jaringan lama, yang sebelumnya bagian dari struktur rezim Assad, kini bermain di dua kaki dengan memperjualbelikan akses dan amunisi.
Fenomena itu menegaskan bahwa sisa-sisa rezim tidak sepenuhnya terkendali. Mereka justru bisa menjadi aktor yang memperkeruh situasi dengan memanfaatkan ketidakpastian di lapangan, apalagi jika keuntungan ekonomi menjadi tujuan utama.
Bagi pemerintah Damaskus, tantangan ini bukan hanya militer, melainkan juga politik internal. Di lain sisi, Damaskus berada dalam tekanan untuk tunduk pada neo-kolonialisme Greater Israel, dan di sisi lain harus bersiap diri dari serangan tiba-toba dari beberapa front; SDF Kurdi, Milisi Al Hajri pro-Israel dan sel-sel Assad yang masih menguasai perkampungan di Lakatia dan Tartus.
SDF sendiri tampak semakin percaya diri. Dengan sokongan politik dari SDC dan dukungan logistik dari jaringan internasional, mereka merasa memiliki cukup ruang untuk menantang Damaskus. Bahkan konferensi anti-pemerintah yang mereka gelar jadi bukti bahwa oposisi tidak segan untuk menantang otoritas pusat.
Di kalangan analis, muncul pandangan bahwa konflik Suriah kini telah memasuki fase baru: bukan lagi sekadar antara pemerintah dan proyek Israel Raya, melainkan juga permainan silang kepentingan antara sisa-sisa rezim, milisi Kurdi, dan kekuatan regional.
Eskalasi di berbagai wilayah menjadi tanda bahwa stabilitas masih jauh dari harapan. Setiap kali ada tanda rekonsiliasi, selalu muncul dinamika baru yang menggagalkannya. Kali ini, penyelundupan senjata dan konferensi anti-Damaskus menjadi faktor utama yang menambah kompleksitas.
Seiring waktu, sulit dipastikan kapan serangan besar yang direncanakan SDF dan Al Hajri benar-benar akan dimulai. Namun satu hal jelas: Suriah belum mampu keluar dari bayang-bayang konspirasi internal dan tekanan eksternal yang terus berlapis.
Narasi bahwa sel-sel rezim Assad masih aktif bergerak di bawah permukaan kini menjadi perhatian serius. Jika benar adanya, maka ancaman terhadap Damaskus bukan hanya dari luar, tetapi juga dari dalam negeri sendiri.
No comments