Khartoum - Di tengah-tengah konflik yang mengguncang Sudan, sebuah perpecahan signifikan telah muncul di antara salah satu suku Badui yang paling terkenal, Qabilah Rashaida. Suku yang dikenal karena sejarah panjangnya sebagai pedagang dan peternak nomaden kini terbelah menjadi dua faksi yang saling bertentangan, mencerminkan polarisasi yang terjadi di seluruh negeri.
Di satu sisi, cabang suku yang tinggal di wilayah barat Sudan, khususnya di Darfur, telah mendeklarasikan dukungannya secara terbuka untuk Pasukan Dukungan Cepat (RSF). Perpecahan ini telah menciptakan dinamika baru dalam lanskap politik dan militer yang rumit di negara tersebut.
Faksi di barat ini diwakili oleh Awlad Rashid, sebuah sub-kelompok dari Rashaida, yang baru-baru ini membentuk sebuah dewan tinggi suku. Pembentukan lembaga baru ini bertujuan untuk mempersatukan anggota suku dan mengelola urusan internal mereka.
Dewan Tinggi suku Awlad Rashid dibentuk setelah serangkaian pertemuan dan musyawarah yang melibatkan para pemimpin suku. Mereka mengklaim bahwa dewan ini bertujuan untuk menjaga kohesi dan koeksistensi, sebuah slogan yang ironisnya berlawanan dengan perpecahan yang mereka alami secara nasional.
Dalam pernyataan resmi mereka, dewan ini dengan jelas menyatakan dukungannya terhadap RSF. Mereka bahkan secara publik menyampaikan ucapan selamat kepada pemimpin RSF, Jenderal Muhammad Hamdan Dagalo, yang dikenal sebagai Hemedti, yang kini menjadi Presiden Sudan tandingan di Nyala.
Dukungan ini menandai pengakuan otoritas Hemedti dan kekuasaannya yang semakin besar di wilayah Darfur. Sikap dewan ini menegaskan bahwa mereka melihat RSF sebagai kekuatan dominan dan sah di wilayah tersebut.
Pernyataan tersebut juga menyambut baik langkah-langkah yang diambil oleh RSF dalam mengamankan dan mengelola wilayah yang mereka kuasai. Sikap ini berpotensi memberikan legitimasi sipil kepada RSF di tengah-tengah perjuangan melawan militer reguler Sudan.
Pembentukan dewan ini menunjukkan adanya upaya untuk membentuk struktur pemerintahan alternatif di wilayah yang dikuasai oleh RSF. Ini bisa jadi merupakan strategi untuk menciptakan tandingan terhadap pemerintah pusat yang berbasis di Khartoum.
Suku Awlad Rashid di Darfur secara historis memiliki hubungan yang kompleks dengan kelompok-kelompok bersenjata, termasuk RSF. Dukungan mereka saat ini tampaknya didorong oleh perhitungan strategis dan kepentingan regional.
Di sisi lain, di wilayah timur Sudan, faksi Rashaida yang lain mengambil jalan yang sama sekali berbeda. Mereka telah memilih untuk mendukung Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) yang dipimpin oleh Jenderal Abdel Fattah al-Burhan.
Sebagai wujud dukungan mereka, para pemimpin suku di timur telah mengorganisasi dan membentuk milisi bersenjata. Milisi ini secara eksplisit bertujuan untuk membantu SAF dalam melawan RSF.
Pembentukan milisi ini adalah respons langsung terhadap dinamika konflik yang berkembang. Faksi timur suku Rashaida melihat RSF sebagai ancaman terhadap stabilitas dan kedaulatan negara.
Dukungan untuk SAF ini didasari oleh loyalitas tradisional terhadap negara dan kekhawatiran akan ambisi politik RSF. Mereka memandang RSF sebagai pemberontak yang mencoba merebut kekuasaan secara tidak sah.
Milisi yang dibentuk di timur ini menambah jumlah kelompok bersenjata yang sudah banyak di Sudan, yang masing-masing bersekutu dengan salah satu dari dua faksi utama yang bertikai.
Perpecahan ini bukan hanya sekadar perbedaan pendapat, tetapi sebuah pemisahan fundamental dalam identitas dan aliansi suku. Ini menunjukkan bahwa bahkan di tingkat suku, tidak ada konsensus tunggal mengenai masa depan Sudan.
Fenomena ini juga menyoroti bagaimana perang saudara telah berhasil memecah-belah struktur sosial dan kekeluargaan yang telah ada selama berabad-abad. Ikatan kesukuan yang kuat kini diuji oleh kepentingan politik yang bertentangan.
Perpecahan di tubuh Rashaida ini dapat berpotensi memperdalam konflik, tidak hanya secara nasional tetapi juga di tingkat lokal. Pertempuran antara milisi pro-SAF dan milisi atau kelompok pro-RSF bisa saja terjadi di mana saja.
Situasi ini juga mempersulit upaya perdamaian di masa depan. Setiap faksi yang ingin mencapai kesepakatan damai harus bernegosiasi dengan beragam kelompok yang memiliki agenda dan aliansi yang berbeda-beda.
Pada akhirnya, perpecahan Qabilah Rashaida menjadi simbol tragis dari perang yang merobek-robek negara Sudan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada pihak yang imun dari dampak pertempuran yang meluas, bahkan suku-suku yang jauh dari pusat konflik.
No comments