Golan: Aneksasi Perlahan oleh Israel, Dunia Membisu


Dataran Tinggi Golan kerap terlupakan dari peta penjajahan Israel yang selama ini lebih difokuskan pada Gaza yang kini jadi korban genosida dan Tepi Barat di Palestina. Padahal, wilayah yang secara hukum internasional masih dianggap milik Suriah ini telah dijadikan target aneksasi bertahap oleh Tel Aviv selama lebih dari lima dekade terakhir. Dimulai dari perang enam hari tahun 1967, Golan direbut oleh militer Israel dari tangan Suriah dan sejak itu menjadi bagian dari wilayah yang dikontrol militer Zionis.


Selama bertahun-tahun, Israel membangun permukiman ilegal di wilayah ini sembari secara sistematis menggusur warga Suriah asli yang memilih bertahan. Meskipun Majelis Umum PBB dan Dewan Keamanan terus mengeluarkan resolusi yang menolak klaim kedaulatan Israel atas Golan, langkah-langkah aneksasi terus berjalan secara de facto. Puncaknya adalah pada Desember 1981 ketika Israel mengesahkan Undang-Undang Dataran Tinggi Golan yang secara sepihak menyatakan wilayah itu sebagai bagian dari negara Israel.


Padahal, rancangan undang-undang itu sempat ditolak mayoritas parlemen Israel awal tahun yang sama. Namun, setelah pemilu legislatif Juni 1981 yang memperkuat posisi Likud dan Menachem Begin, undang-undang tersebut lolos tanpa banyak perlawanan. Dunia mengecam, tetapi tak berdaya. AS di bawah pemerintahan Trump bahkan mengakui kedaulatan Israel atas Golan pada 2019, sebuah langkah yang hanya diikuti oleh segelintir negara lain.


Kondisi Golan kini sangat berbeda dibandingkan sebelum tahun 1967. Kota-kota seperti Majdal Shams, Buq’ata, dan Ein Qiniyye kini dihuni oleh warga Suriah keturunan Druze yang sebagian besar masih menolak kewarganegaraan Israel. Mereka menjadi kelompok stateless yang hidup di bawah sistem hukum Israel namun tidak diakui sebagai warga negara penuh. Mereka seringkali menghadapi diskriminasi administratif dan kesulitan mengakses layanan dasar.


Sementara itu, permukiman Yahudi terus diperluas dengan investasi negara dan kemudahan dari otoritas Israel. Infrastruktur, jalan penghubung, dan fasilitas publik hanya dibangun di kawasan pemukiman Yahudi. Kawasan Druze dan warga Suriah lokal dibiarkan stagnan. Hal ini merupakan bagian dari strategi demografis untuk mengubah komposisi populasi wilayah secara permanen, sebagaimana pernah diterapkan Israel di Yerusalem Timur.


Masyarakat internasional terus mengulang frasa usang tentang “solusi dua negara” dan “status final dalam perundingan damai”, tapi fakta di lapangan menunjukkan bahwa aneksasi de facto sudah terjadi. Golan secara hukum masih milik Suriah, namun secara administrasi dan militer dikendalikan penuh oleh Israel. Bahkan beberapa wilayah seperti Quneitra, yang dulu sempat dikembalikan secara simbolis ke Suriah usai Perang Yom Kippur, kini secara perlahan dikuasai ulang oleh Israel pasca-perang saudara Suriah.


Jika tren ini berlanjut, nasib warga Golan yang tidak memegang paspor Israel akan semakin terpinggirkan. Dalam skenario terburuk, mereka bisa mengalami nasib serupa seperti warga Palestina di Yerusalem Timur yang dihapuskan hak tinggalnya melalui undang-undang pemukiman dan pembatasan kependudukan. Golan bisa menjadi model kolonisasi yang lebih "sunyi", namun tak kalah sistematis dari wilayah lainnya.


Israel juga memanfaatkan kekacauan di Suriah untuk melegitimasi keberadaannya di Golan. Dengan narasi “membendung terorisme” dan “mencegah pengaruh Iran”, Israel berhasil menjustifikasi ekspansi ke arah timur bahkan kadang melintasi zona demiliterisasi yang dibentuk PBB. Setiap kali Suriah melemah, Israel memperkuat cengkeramannya di Golan dengan dalih keamanan.


Di sisi lain, warga Golan menghadapi dilema identitas. Generasi muda Druze kini tumbuh dalam sistem pendidikan Israel, berbicara dalam bahasa Ibrani, dan terpapar media Israel, namun mereka tetap mengidentifikasi diri sebagai warga Suriah. Sebagian kecil menerima paspor Israel demi kemudahan hidup, tetapi mayoritas tetap menolak dengan risiko keterpinggiran administratif.


Skenario masa depan Golan semakin suram jika tak ada intervensi nyata dari dunia internasional. Tanpa proses rekonsiliasi yang adil, kawasan ini bisa menjadi bom waktu baru dalam konflik Timur Tengah. Jika suatu hari Suriah kembali stabil, kemungkinan konflik terbuka dengan Israel pun tak bisa dikesampingkan. Terlebih bila kepemimpinan baru di Damaskus memprioritaskan pemulihan wilayah-wilayah yang diduduki.


Peran PBB tampak lemah dalam menanggapi aneksasi Golan. Resolusi demi resolusi hanya menjadi arsip diplomatik tanpa kekuatan mengikat. Bahkan pengiriman pasukan pemantau seperti UNDOF tak mampu menghentikan perubahan de facto yang dilakukan Israel di lapangan. Upaya diplomatik menjadi tak berarti jika tak diiringi tekanan ekonomi dan politik terhadap Israel.


Golan juga memiliki nilai strategis tinggi karena posisinya yang menghadap Dataran Damaskus dan mengontrol sumber air utama wilayah tersebut. Ini menjadi alasan utama Israel enggan melepasnya. Dalam banyak skenario militer, Golan adalah titik krusial untuk mempertahankan atau melancarkan serangan. Nilai ini membuat Golan tetap menjadi fokus utama strategi keamanan Israel.


Sebagai catatan sejarah, aneksasi Golan mencerminkan kegagalan kolektif masyarakat internasional dalam menegakkan hukum internasional. Ketika pelanggaran hukum dilakukan secara bertahap dan tidak mendapat respons keras, maka pelanggaran tersebut akan menjadi norma baru. Kasus Golan bisa menjadi preseden berbahaya bagi wilayah-wilayah lain yang mengalami nasib serupa.


Kini, warga Golan yang tidak menjadi warga Israel hidup dalam ketidakpastian. Mereka bukan warga Suriah secara administratif, bukan warga Israel secara hukum, dan terjebak dalam realitas kolonialisme modern. Dunia harus kembali membuka mata terhadap Golan, bukan hanya Gaza dan Tepi Barat. Tanpa keadilan untuk Golan, perdamaian di Timur Tengah hanyalah ilusi yang terus dikumandangkan tanpa makna.

Baca selanjutnya

No comments