Peresmian stasiun pengisian daya mobil listrik pertama di Tripoli, ibu kota Libya, menjadi sinyal kecil namun penuh arti bahwa negara di Afrika Utara ini tengah mencoba bangkit dan memasuki era baru teknologi bersih. Stasiun yang berlokasi di Barkadjo Towers No. 1, tepat di jantung Tripoli, menjadi simbol awal dari cita-cita besar yang telah lama dikubur dalam reruntuhan perang saudara dan kekacauan pasca-rezim Muammar Khadafi.
Selama berkuasa lebih dari empat dekade, Khadafi dikenal bukan hanya karena kebijakan nyentriknya, tetapi juga karena ambisinya yang tak pernah padam untuk menjadikan Libya sebagai kekuatan besar, baik di dunia Arab maupun di benua Afrika. Di antara berbagai proyek utopisnya, impian menjadikan Libya memiliki industri otomotif nasional sempat mencuat, meski tidak pernah benar-benar terealisasi secara teknis dan berkelanjutan.
Kini, di tengah bayang-bayang masa lalu yang kontroversial dan masa kini yang masih dipenuhi tantangan, muncul pertanyaan realistis: apakah Libya bisa ikut bersaing dalam industri mobil listrik yang kini menjadi masa depan otomotif global? Atau, mungkinkah Libya lebih cocok mengambil peran sebagai produsen komponen pendukung seperti baterai, ban, atau perangkat elektronik kendaraan?
Dengan cadangan mineral yang belum sepenuhnya dieksplorasi, tenaga kerja yang terampil masih terbatas, serta infrastruktur industri yang belum stabil, sebagian analis menilai Libya masih jauh dari siap untuk memproduksi mobil listrik secara utuh. Namun peluang tetap terbuka untuk memulai dari lini produksi yang lebih sederhana namun strategis, seperti produksi komponen baterai berbasis litium, pengolahan logam tanah jarang, atau bahkan pembuatan ban dengan teknologi daur ulang.
Langkah awal yang bisa ditempuh Libya adalah memetakan kekayaan sumber daya alamnya yang relevan dengan industri kendaraan listrik. Jika ditemukan kandungan mineral penting seperti kobalt, nikel, atau litium, Libya dapat menawarkannya kepada investor sebagai keunggulan komparatif. Bahkan negara ini bisa menjalin kemitraan dengan produsen global sebagai bagian dari rantai pasok internasional.
Libya juga dapat menargetkan pembuatan suku cadang kendaraan yang tidak terlalu kompleks secara teknologi, namun tetap vital secara industri, seperti rangka, kaca mobil, atau sistem pendingin. Keberhasilan di bidang ini bisa membuka jalan bagi pengembangan industri pendukung lain, sebelum akhirnya melangkah ke tahap perakitan dan produksi mobil secara utuh.
Namun untuk merealisasikan mimpi besar memiliki industri mobil nasional, Libya butuh lebih dari sekadar sumber daya. Diperlukan stabilitas politik, iklim investasi yang aman, tenaga kerja terlatih, dan visi industri jangka panjang yang konsisten melampaui kepentingan politik jangka pendek. Mimpi Khadafi tentang mobil nasional tidak akan pernah terjadi jika negara terus dililit konflik faksi dan kekacauan birokrasi.
Pemerintah Libya yang kini berusaha merekonstruksi ulang fondasi negaranya harus menjadikan sektor otomotif ramah lingkungan sebagai salah satu prioritas nasional. Bukan hanya karena tren global, tetapi juga sebagai simbol kebangkitan industri dalam negeri. Menarik investasi dari negara seperti Turki, Tiongkok, atau bahkan Uni Eropa bisa menjadi langkah awal memperkuat kapasitas teknis dan produksi.
Pengembangan pusat riset dan pelatihan teknik otomotif juga sangat penting. Tripoli atau Misrata dapat menjadi pusat pendidikan vokasi dan rekayasa industri, membekali generasi muda Libya dengan keterampilan yang dibutuhkan untuk membangun masa depan industri mereka sendiri. Langkah ini juga dapat mengurangi ketergantungan pada tenaga asing dalam jangka panjang.
Skenario paling realistis bagi Libya dalam 10 tahun ke depan adalah menjadi pusat produksi regional untuk komponen kendaraan listrik di Afrika Utara. Jika Libya bisa menyediakan listrik murah dari matahari dan tenaga angin, serta membangun jaringan logistik yang efisien, bukan tidak mungkin negeri ini akan dilirik sebagai basis manufaktur alternatif di luar Asia.
Stasiun pengisian daya yang baru diresmikan itu, meski kecil, adalah simbol tekad. Ia bisa menjadi titik tolak untuk membangun ekosistem kendaraan listrik lokal, dari penggunaan pribadi hingga transportasi publik. Pemerintah daerah dapat mengintegrasikan kendaraan listrik ke dalam sistem bus kota atau layanan antar-jemput untuk mempercepat adopsi teknologi ini.
Di sisi lain, Libya juga bisa memanfaatkan narasi “mobil listrik buatan sendiri” sebagai alat unifikasi nasional. Setelah bertahun-tahun dilanda perang saudara dan perpecahan, sebuah proyek industrial yang menyatukan anak muda dari berbagai wilayah dapat menjadi proyek identitas bersama yang melampaui batas politik.
Inspirasi bisa diambil dari negara-negara kecil seperti Vietnam yang melalui VinFast berhasil meluncurkan mobil listrik dalam waktu singkat. Meski banyak tantangan, tekad yang kuat dan dukungan negara menjadi kunci utama. Jika Vietnam bisa, mengapa Libya tidak?
Untuk itu, Libya harus mulai membentuk badan otoritatif setingkat kementerian khusus yang menangani strategi industri otomotif hijau, lengkap dengan peraturan, insentif pajak, dan jaminan keamanan investasi. Tanpa struktur kelembagaan yang kuat, mimpi membangun mobil listrik nasional hanya akan menjadi nostalgia masa lalu.
Khadafi, dengan segala kontroversinya, sempat bermimpi tentang Libya yang mandiri secara ekonomi dan teknologi. Mimpi itu gagal bukan karena visinya salah, tetapi karena pendekatannya yang tidak inklusif dan represif. Kini, dengan pendekatan yang terbuka dan kolaboratif, rakyat Libya bisa mencoba mewujudkan ulang mimpi tersebut—dengan semangat baru dan strategi yang lebih realistis.
Mobil listrik buatan Libya mungkin belum akan lahir esok hari. Tapi fondasinya bisa dibangun hari ini, dimulai dari kerja keras membangun ekosistemnya, merancang peta jalan industri, dan menciptakan generasi yang tak hanya bisa membeli mobil, tapi juga menciptakannya. Masa depan Libya bisa dimulai dari garasi kecil di Tripoli—selama negara itu berani bermimpi dan bekerja untuk mewujudkannya.
No comments