Studi Kasus, Pemerintahan Paralel Angkat Kelompok Marjinal


Fenomena pembentukan pemerintahan paralel kerap menjadi konsekuensi dari konflik panjang di berbagai negara. Sudan, Libya, Suriah hingga Myanmar menjadi contoh nyata bagaimana perebutan legitimasi berujung pada munculnya dua atau lebih pusat kekuasaan. Kondisi ini tidak hanya memecah struktur negara, tetapi juga mengubah posisi kelompok-kelompok masyarakat yang sebelumnya termarjinalkan.

Di Sudan, misalnya, ketegangan antara militer pemerintah dengan kelompok pemberontak memunculkan dinamika baru dalam hubungan etnis. Suku Rasyaidah, yang selama ini berada di pinggiran politik, kini mendapat tempat dalam struktur militer. Sudan Armed Forces (SAF) merekrut mereka secara masif untuk menutupi kekurangan personel akibat perang berkepanjangan.

Fenomena serupa terlihat di Yaman. Perang yang tak kunjung usai membuat suku-suku di wilayah perbatasan menjadi garda terdepan rekrutmen militer. Persaingan antara kelompok yang didukung pemerintahan Houthi di Sanaa dan versi Aden menjadikan komunitas suku sebagai rebutan, bukan hanya untuk jumlah personel, tetapi juga legitimasi sosial di lapangan.

Namun, perekrutan semacam itu tidak selalu membawa keuntungan. Jika satu suku terbagi dukungan ke pihak yang berbeda, perang internal bisa meledak. Perpecahan keluarga besar atau klan bisa memperpanjang konflik, bahkan di luar kerangka politik nasional.

Di sisi lain, suku yang telah mapan sebelum konflik biasanya lebih berhati-hati. Mereka cenderung enggan bergabung dengan salah satu pihak. Justru karena posisi strategisnya, suku-suku ini sering menjadi rebutan para pihak yang bertikai. Kondisi tersebut menambah rumit peta konflik di lapangan.

Myanmar menjadi contoh nyata lain. Komunitas Rohingya, yang selama ini hidup dalam diskriminasi, justru dipaksa masuk ke dalam konflik. Baik junta militer maupun kelompok pemberontak memobilisasi mereka sebagai tentara, meski banyak yang sebenarnya menolak terlibat. Situasi ini semakin memperparah penderitaan etnis Rohingya.

Suriah juga menyajikan dinamika yang tak kalah menarik. Ketika gelombang Musim Semi Arab mengguncang, banyak kelompok Kurdi memilih netral. Mereka tidak berpihak langsung pada oposisi maupun pemerintah. Keputusan ini akhirnya membuat rezim Bashar al-Assad menyerahkan pengamanan lokal ke tangan Partai Persatuan Demokratik (PYD).

Langkah tersebut menjadi titik balik. PYD perlahan tumbuh menjadi kekuatan besar. Setelah menjalin kerja sama dengan Amerika Serikat dalam perang melawan ISIS, mereka bertransformasi menjadi Syrian Democratic Forces (SDF). Kini, SDF menguasai wilayah luas di Suriah utara dan menjadi salah satu aktor penting dalam konflik.

Kondisi seperti ini menegaskan bahwa pemerintahan paralel membuka peluang besar bagi kelompok marjinal untuk naik kelas politik. Dari posisi pinggiran, mereka tiba-tiba mendapat senjata, wilayah, bahkan pengakuan internasional.

Namun, peluang itu selalu datang dengan risiko. Ketika konflik berubah menjadi perang suku, konsekuensinya adalah hilangnya kohesi sosial. Perpecahan keluarga besar bisa membuat konflik lebih sulit didamaikan, bahkan setelah elite politik berdamai.

Di Libya, misalnya, perpecahan antara pemerintahan di Tripoli dan Tobruk membuat suku-suku di pedalaman menjadi rebutan. Milisi yang berbasis pada etnis tertentu mendapat dana dan senjata, sementara loyalitas mereka sering kali lebih kuat kepada suku dibanding negara.

Situasi serupa terjadi di Sudan. Persaingan antara SAF dan Rapid Support Forces (RSF) memperlihatkan bagaimana suku-suku tertentu dijadikan tulang punggung pertempuran. Namun, konsekuensinya adalah munculnya luka etnis yang dalam, yang sulit dipulihkan meski perang berhenti.

Myanmar kembali memberi pelajaran. Paksa memaksa etnis Rohingya bergabung ke dalam konflik hanya menambah daftar panjang tragedi kemanusiaan. Kelompok yang tadinya hanya menuntut pengakuan identitas kini terjebak dalam pusaran kekerasan bersenjata.

Perubahan posisi suku marjinal ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Mereka bukan lagi sekadar korban, tetapi juga aktor yang menentukan jalannya konflik. Dalam banyak kasus, keterlibatan mereka bisa mengubah keseimbangan kekuatan di medan tempur.

Namun, keterlibatan itu sering kali tidak diiringi dengan jaminan masa depan. Setelah konflik reda, kelompok-kelompok ini sering kembali ke posisi semula, atau bahkan menjadi target pembalasan.

Di Suriah, meski SDF Kurdi berhasil memperluas wilayah, posisi mereka tetap rapuh. Ancaman dari Turki dan ketidakjelasan sikap Damaskus membuat masa depan politik mereka tidak pasti.

Di Yaman, suku-suku perbatasan juga menghadapi dilema. Mereka menjadi tulang punggung perang, tetapi tidak mendapat jaminan akan diakomodasi dalam politik pasca-konflik.

Fenomena ini menunjukkan pola yang berulang. Pemerintahan paralel selalu membuka pintu bagi kelompok marjinal untuk tampil, tetapi juga selalu menempatkan mereka dalam risiko besar.

Ketika konflik berakhir, suku-suku itu bisa menjadi pilar baru dalam rekonsiliasi, atau sebaliknya, menjadi sumber konflik baru jika tidak diakomodasi dengan bijak.

Pada akhirnya, dinamika pemerintahan paralel adalah gambaran bagaimana perang bukan hanya soal senjata, tetapi juga tentang perebutan jiwa, hati, dan loyalitas kelompok yang selama ini termarjinalkan. Mereka lah yang sering menjadi kartu penentu dalam sebuah konflik berkepanjangan.

Di Israel, dinamika serupa juga terlihat dalam keterlibatan komunitas Druze. Kelompok minoritas yang selama ini hidup di pinggiran politik Israel mendadak naik daun karena peran mereka dalam operasi militer, termasuk operasi geosida Israel di Gaza, Palestina. Banyak pemuda Druze yang masuk dalam barisan tentara Israel, dan keterlibatan itu membuat posisi politik mereka mendapat sorotan lebih besar dari sebelumnya.

Keterlibatan Druze di garis depan tidak hanya memperkuat legitimasi mereka sebagai warga negara penuh, tetapi juga memberi ruang tawar yang lebih luas dalam percaturan politik domestik Israel. Dari kelompok yang sebelumnya sering diabaikan dalam diskursus nasional, Druze kini menjadi elemen penting dalam militer dan semakin diperhitungkan dalam kebijakan keamanan maupun sosial.


No comments