Presiden Yaman Tunjuk Muhammad Muftah Jadi PM Versi Sanaa

Presiden Yaman versi Sanaa Mahdi Al Mashat baru-baru ini menunjuk Muhammad Ahmed Muftah sebagai pelaksana tugas Perdana Menteri.

Keputusan ini diambil setelah kematian Perdana Menteri sebelumnya, Ahmed al-Rahawi, yang dilaporkan tewas dalam serangan udara yang dilakukan secara gabungan oleh Israel dan Amerika Serikat.

Penunjukan Muftah, yang dikenal sebagai salah satu ideolog senior Houthi, kembali menyoroti kompleksitas pemerintahan Sana'a. Langkah ini juga memunculkan pertanyaan tentang siapa saja tokoh yang pernah memimpin pemerintahan Houthi sejak mereka menguasai ibu kota Yaman.

Setelah berhasil mengambil alih Sana'a pada September 2014, kelompok Houthi secara efektif menggulingkan pemerintahan yang sah dan diakui secara internasional. Perdana Menteri saat itu, Mohammed Basindawa, terpaksa mengundurkan diri, membuka babak baru dalam sejarah politik Yaman yang penuh gejolak. Kekosongan kekuasaan ini dengan cepat diisi oleh serangkaian tokoh yang ditunjuk oleh Houthi untuk memimpin administrasi mereka. Nama-nama ini jarang mendapat sorotan internasional, namun peran mereka sangat krusial dalam menjalankan roda pemerintahan de facto di Sana'a.

Salah satu nama yang sempat muncul adalah Khaled Bahah, yang diangkat sebagai Perdana Menteri oleh Presiden Abdrabbuh Mansour Hadi pada Oktober 2014. Namun, pemerintahannya hanya bertahan beberapa bulan di Sana'a. Pada Januari 2015, Houthi mengepung kediaman Presiden Hadi, yang memaksa Bahah dan seluruh kabinetnya untuk mengundurkan diri. Peristiwa ini menandai berakhirnya periode singkat di mana pemerintah yang diakui masih beroperasi dari ibu kota, sebelum akhirnya dipaksa pindah ke Aden. Sejak saat itu, pemerintahan di Sana'a sepenuhnya dikendalikan oleh Houthi.

Pasca pengunduran diri Bahah, Komite Revolusi Houthi menunjuk Talal Aklan sebagai pelaksana tugas Perdana Menteri pada Januari 2015. Penunjukan ini bersifat sementara dan kurang mendapat perhatian media, namun ia adalah sosok pertama yang secara langsung ditunjuk oleh Houthi untuk memimpin eksekutif mereka. Ia bertugas dalam periode yang penuh ketidakpastian dan eskalasi konflik, di mana Houthi mulai memperkuat cengkeraman mereka atas Sana'a dan wilayah sekitarnya.

Tonggak sejarah penting terjadi pada Oktober 2016, ketika Houthi membentuk pemerintahan yang disebut sebagai "Penyelamatan Nasional" dengan Abdul-Aziz bin Habtour sebagai Perdana Menteri.

Pemerintah ini merupakan hasil aliansi antara Houthi dan loyalis mantan Presiden Ali Abdullah Saleh, yang pada saat itu masih menjadi sekutu mereka. Masa jabatan bin Habtour adalah yang terpanjang di antara para Perdana Menteri Houthi. Ia memainkan peran sentral dalam mengelola urusan internal dan berhadapan dengan krisis kemanusiaan yang semakin parah.

Namun, aliansi antara Houthi dan Saleh tidak bertahan lama. Pada akhir 2017, aliansi tersebut runtuh, yang berujung pada tewasnya Ali Abdullah Saleh. Meskipun begitu, Abdul-Aziz bin Habtour tetap dipertahankan sebagai Perdana Menteri oleh Houthi, menunjukkan bahwa ia dianggap sebagai sosok yang setia dan kompeten. Selama bertahun-tahun, ia adalah wajah dari pemerintahan Houthi, yang berinteraksi dengan PBB dan organisasi kemanusiaan untuk menyalurkan bantuan ke wilayah yang dikuasai Houthi. Perannya menjadi sangat penting dalam diplomasi yang terbatas di tengah isolasi internasional.

Setelah bertugas selama hampir delapan tahun, Abdul-Aziz bin Habtour digantikan oleh Ahmed al-Rahawi pada Agustus 2024. Penunjukan al-Rahawi menandai perubahan kepemimpinan yang signifikan.

Al-Rahawi, yang merupakan seorang tokoh militer, diperkirakan akan membawa pendekatan yang lebih tegas dalam menjalankan pemerintahan. Namun, masa jabatannya sangat singkat. Pada Agustus 2025, ia dilaporkan tewas dalam sebuah serangan yang menargetkan Sana'a, sebuah insiden yang kembali mengguncang stabilitas pemerintahan Houthi. Kematiannya secara tiba-tiba meninggalkan kekosongan kekuasaan yang harus segera diisi.

Kini, kursi Perdana Menteri sementara diduduki oleh Muhammad Ahmed Muftah. Ia adalah sosok yang tidak asing dalam struktur kekuasaan Houthi. Sebagai wakil Perdana Menteri pertama, ia adalah pilihan logis untuk mengambil alih jabatan tersebut. Latar belakangnya sebagai guru dan tokoh pendidikan terkemuka menunjukkan bahwa Houthi memprioritaskan kesetiaan dan pemahaman doktrin dalam memilih pemimpin mereka. Muftah dikenal sebagai salah satu murid dari ayah pendiri Houthi, Badr al-Din al-Houthi, yang semakin mengukuhkan posisinya sebagai figur yang sangat dihormati dalam hierarki kelompok tersebut.

Meskipun pemerintahan di Sana'a terus berjalan dengan kepemimpinan yang silih berganti, pengakuan internasional tetap menjadi tantangan terbesar bagi mereka. Tidak ada negara yang secara resmi mengakui pemerintahan Houthi. Sebagian besar dunia menganggapnya sebagai pemerintahan de facto yang tidak sah. Hal ini membuat mereka terisolasi dari sistem global dan menghambat upaya mereka untuk bernegosiasi secara resmi dalam konflik yang berkepanjangan.

Di sisi lain, pemerintahan Yaman yang diakui secara internasional saat ini berbasis di Aden. Mereka memiliki Perdana Menteri mereka sendiri, Maeen Abdulmalik Saeed, yang menjabat hingga Februari 2024, kemudian digantikan oleh Ahmad Awad bin Mubarak. Ini menunjukkan adanya dua pusat kekuasaan yang bersaing untuk mendapatkan legitimasi, masing-masing dengan pemimpin mereka sendiri. Situasi ini mencerminkan perpecahan yang mendalam di Yaman, di mana garis antara kekuasaan dan pengakuan internasional sangat kabur.

Dengan penunjukan Muhammad Muftah, Houthi sekali lagi menegaskan kendali mereka atas wilayah yang mereka kuasai.

Perubahan kepemimpinan ini mungkin tidak akan mengubah dinamika konflik secara drastis, namun ini menunjukkan bahwa roda pemerintahan Houthi terus berputar meskipun dihadapkan pada tekanan dari luar dan tantangan dari dalam. Para Perdana Menteri yang ditunjuk oleh mereka, dari Abdul-Aziz bin Habtour hingga kini Muhammad Muftah, adalah cerminan dari strategi politik Houthi untuk mempertahankan kekuasaan mereka di tengah badai krisis yang terus-menerus.

Pemerintahan Paralel Kerap Lebih Kuat dari Resmi

Fenomena pemerintahan paralel semakin sering muncul di berbagai belahan dunia. Meski tidak diakui secara internasional, beberapa pemerintahan bayangan atau otoritas tandingan justru memiliki kekuatan militer, ekonomi, maupun pengaruh politik yang lebih besar dibanding pemerintahan resmi. Situasi ini membuat tatanan negara menjadi rapuh dan penuh ketidakpastian.

Kasus Libya menjadi contoh yang paling nyata. Pemerintahan yang diakui dunia berada di Tripoli, namun pemerintahan Libya Timur yang dipimpin Khalifa Haftar justru menguasai kekuatan militer terbesar. Didukung Rusia, Mesir, dan Uni Emirat Arab, otoritas di Benghazi berulang kali menekan Tripoli. Bahkan, kekuatan bersenjata di bawah Haftar mampu menguasai ladang minyak strategis yang seharusnya menjadi tulang punggung negara.

Kekuatan pemerintahan paralel Libya Timur bukan hanya terletak pada senjata, melainkan juga pada dukungan diplomatik tidak resmi. Negara-negara pendukungnya menjadikan otoritas Haftar sebagai mitra alternatif dalam perundingan politik dan bisnis energi. Hal ini menempatkan Tripoli dalam posisi sulit, meski secara hukum mereka masih diakui sebagai pemerintah sah.

Kondisi serupa juga terlihat di Sudan. Pemerintahan yang diakui internasional berpusat di Khartoum, namun di lapangan otoritas paralel yang dikendalikan Mohamed Hamdan Dagalo alias Hemedti tidak bisa diabaikan. Berbasis di Darfur, khususnya di Nyala, pemerintahan versi Hemedti diduga mendapat dukungan finansial dan logistik dari Uni Emirat Arab. Dukungan ini membuat RSF (Rapid Support Forces) yang ia pimpin mampu menandingi bahkan mengalahkan kekuatan militer resmi Sudan di beberapa wilayah.

Bagi banyak pengamat, kekuatan Hemedti di lapangan sudah menyerupai sebuah pemerintahan alternatif. Dengan struktur administrasi, jaringan bisnis, hingga kendali atas wilayah kaya sumber daya, otoritas RSF membuktikan bahwa legitimasi internasional bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan kekuasaan.

Fenomena pemerintahan paralel juga hadir di Suriah, lewat keberadaan Syrian Democratic Forces (SDF) yang didominasi kelompok Kurdi. Meski mereka tidak mendeklarasikan diri sebagai negara merdeka, SDF pada kenyataannya memiliki otonomi penuh di wilayah-wilayah utara dan timur Suriah. Dukungan Amerika Serikat dan sekutunya menjadikan SDF kekuatan militer paling stabil di negara yang dilanda perang berkepanjangan itu.

Dalam banyak kesempatan, Damaskus bahkan tidak mampu menandingi kekuatan SDF. Kontrol atas ladang minyak di timur Suriah membuat SDF lebih berdaya secara ekonomi dibanding pemerintah pusat yang terjebak dalam krisis. Hal ini menjadikan mereka setara dengan sebuah pemerintahan de facto, meski belum diakui secara formal.

Ketiga contoh di atas menunjukkan pola yang serupa: ketika pemerintahan paralel mendapat dukungan internasional dalam bentuk senjata, dana, atau legitimasi politik, maka kekuatannya bisa melampaui pemerintahan resmi. Kelemahan institusi negara, korupsi, dan lemahnya sistem hukum semakin membuka ruang bagi otoritas tandingan untuk tumbuh.

Di satu sisi, pemerintahan paralel sering dipandang sebagai ancaman terhadap stabilitas dan kedaulatan negara. Namun di sisi lain, bagi masyarakat di lapangan, otoritas ini kadang justru lebih nyata dalam memberikan keamanan maupun pelayanan. Hal inilah yang membuat mereka bisa bertahan meski tanpa pengakuan resmi dari dunia.

Fenomena pemerintahan paralel pada akhirnya menegaskan bahwa kekuasaan tidak hanya ditentukan oleh legalitas internasional. Dukungan militer, kontrol sumber daya, dan basis sosial jauh lebih menentukan siapa yang benar-benar berkuasa. Situasi ini membuat peta politik global semakin rumit, sebab garis pemisah antara pemerintahan sah dan otoritas bayangan semakin kabur.



No comments