Perebutan Kursi Sudan di PBB Memanas


Sudan kembali diguncang dengan polemik diplomatik setelah munculnya dua klaim pemerintahan yang sah. Persaingan antara kubu Khartoum dan Nyala kini merembet hingga ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Siapa yang nantinya akan diakui sebagai representasi resmi Sudan di forum internasional itu menjadi pertanyaan besar yang tengah diperdebatkan.

Mohamed Hassan Othman al-Ta’aishi, yang menyebut dirinya sebagai Perdana Menteri Pemerintahan Pendirian Sudan atau Founding Government (Tasis), mengeluarkan dekrit mengejutkan. Dalam pernyataannya, ia menunjuk Qoni Mustafa Abu Bakr Sharif sebagai perwakilan tetap Sudan di PBB. Dekrit tersebut disebut didasarkan pada Konstitusi Transisi 2025.

Langkah ini tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga politis. Dengan menunjuk wakil resmi ke PBB, pemerintahan Nyala ingin menunjukkan bahwa mereka memiliki legitimasi internasional yang sama, bahkan lebih kuat dari pemerintahan Khartoum.

Namun, pihak Khartoum dipastikan tidak akan tinggal diam. Pemerintah pusat yang selama ini diakui PBB tetap berpegang pada hak mereka untuk mengirim delegasi resmi. Kondisi ini membuka potensi konflik diplomatik yang bisa menimbulkan kebingungan di markas besar PBB di New York.

Dalam sejarah PBB, kasus semacam ini bukan hal baru. Beberapa negara yang dilanda perang saudara atau pemerintahan paralel kerap mengajukan dua wakil sekaligus. Pada akhirnya, keputusan ada di tangan Komite Kredensial PBB yang akan menentukan siapa yang sah untuk duduk di kursi negara tersebut.

Sudan kini mengikuti jejak konflik serupa di Libya, di mana pemerintahan Tobruk dan Tripoli saling berebut legitimasi. Bahkan, di Afghanistan, pergantian rezim Taliban juga sempat menimbulkan kebingungan mengenai siapa yang berhak duduk sebagai perwakilan resmi di PBB.

Al-Ta’aishi dalam keterangannya menegaskan bahwa penunjukan Qoni Mustafa Abu Bakr Sharif sesuai dengan aturan transisi yang berlaku di wilayah kekuasaan mereka. Ia juga memerintahkan lembaga terkait untuk segera menindaklanjuti keputusan tersebut.

Sementara itu, pihak Khartoum masih belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait langkah Nyala tersebut. Namun, sejumlah sumber diplomatik memperkirakan Khartoum akan segera melakukan langkah tandingan dengan menegaskan perwakilan mereka yang sudah ada di New York.

Kondisi ini tentu menimbulkan tanda tanya besar: apakah PBB akan menerima perwakilan versi Khartoum, ataukah memberi ruang bagi Nyala? Pertanyaan ini semakin relevan karena Sudan tengah berada dalam sorotan dunia akibat konflik bersenjata yang tak kunjung usai.

Jika PBB menerima perwakilan dari Nyala, hal itu bisa diartikan sebagai pengakuan de facto terhadap pemerintahan paralel. Dampaknya akan sangat besar, baik bagi hubungan Sudan dengan dunia internasional maupun bagi keseimbangan kekuatan di dalam negeri.

Sebaliknya, jika PBB tetap hanya mengakui Khartoum, maka Nyala akan kesulitan mencari pengakuan internasional meski mereka memiliki kendali di lapangan. Namun, hal ini juga bisa memperpanjang konflik karena kubu Nyala merasa dipinggirkan dalam diplomasi global.

Para pengamat menilai, PBB kemungkinan besar akan berhati-hati. Biasanya, organisasi internasional itu menghindari langkah yang bisa dianggap mendukung salah satu pihak secara terang-terangan. Komite Kredensial PBB akan menimbang aspek politik, keamanan, dan legitimasi hukum sebelum membuat keputusan.

Beberapa negara anggota Dewan Keamanan PBB diduga memiliki posisi yang berbeda terkait Sudan. Negara-negara Barat cenderung berhati-hati, sementara sebagian negara di kawasan Timur Tengah dan Afrika memiliki kepentingan tersendiri terhadap kubu Khartoum maupun Nyala.

Situasi ini berpotensi membuat keputusan PBB semakin lama. Selama belum ada keputusan final, kursi Sudan di PBB bisa saja tetap kosong atau diisi sementara oleh perwakilan yang sudah ada hingga perdebatan selesai.

Bagi rakyat Sudan, perebutan kursi di PBB ini mungkin terlihat jauh dari kebutuhan sehari-hari. Namun, dalam jangka panjang, legitimasi internasional akan menentukan siapa yang berhak mengelola bantuan, kerjasama ekonomi, hingga perjanjian damai.

Pengamat hubungan internasional memperkirakan, jika konflik terus berlarut, maka Sudan bisa menjadi medan tarik-menarik diplomasi antara kekuatan global. Pengakuan terhadap salah satu pihak akan berimplikasi pada geopolitik kawasan, terutama di Afrika Timur.

Dalam konteks ini, langkah al-Ta’aishi menunjuk perwakilan ke PBB bisa dilihat sebagai strategi politik untuk menguji reaksi dunia. Ia seakan ingin menantang PBB untuk segera mengambil sikap tegas, meski risikonya besar.

Khartoum, di sisi lain, diyakini akan memperkuat lobi internasional mereka agar tidak kehilangan kursi resmi. Dukungan dari Uni Afrika, Liga Arab, atau negara-negara besar akan menjadi kunci dalam menentukan arah keputusan.

Pada akhirnya, siapa yang akan diterima PBB, apakah versi Khartoum atau Nyala, akan menjadi ujian penting bagi tata kelola internasional. Kasus Sudan akan menambah daftar panjang dilema PBB dalam menghadapi pemerintahan paralel di negara-negara konflik.

Selama keputusan belum diambil, Sudan akan tetap berada dalam ketidakpastian diplomatik. Pertarungan antara Khartoum dan Nyala bukan hanya terjadi di medan perang, tetapi kini juga berlangsung di panggung dunia.

No comments