Warga di distrik Al-Tadamon, Damaskus, kini menghadapi krisis air yang semakin parah. Di kawasan الشهداء – السليخة, pasokan air nyaris tidak tersedia sehingga penduduk harus membeli kebutuhan air mereka dengan harga tinggi. Kondisi ini menambah penderitaan warga yang sejak lama hidup dalam situasi sulit akibat perang dan keterbatasan infrastruktur.
Menurut keterangan dalam sebuah video yang beredar, kekurangan air di lingkungan ini sudah berlangsung lama dan belum ada solusi permanen dari pemerintah. Penduduk terpaksa mengandalkan sumur pribadi yang harus dipompa secara manual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun, biaya pengeboran sumur baru yang mencapai 2.500 dolar membuat sebagian besar warga tidak sanggup menanganinya.
Untuk sementara, warga mencoba mencari cara alternatif. Beberapa pipa dan selang dipasang guna mendistribusikan air dari satu sumur ke sekitar 40 rumah. Inisiatif ini lahir dari solidaritas warga, karena tidak semua keluarga mampu membayar biaya tambahan untuk membeli air setiap hari.
Seorang warga bernama Abu Aboud menjadi salah satu tokoh yang berperan penting dalam mengurangi beban warga. Ia memasang pompa air pribadi untuk mengalirkan pasokan air ke sejumlah rumah di lingkungannya. Usahanya mendapat apresiasi dari tetangga, meski jumlah air yang tersedia masih jauh dari mencukupi.
Tak hanya itu, ada juga inisiatif dari warga lain di dekat sebuah masjid yang memperbaiki sumur lama dan memasang pompa baru. Langkah ini memungkinkan sebagian warga mengakses air dengan lebih mudah, meski antrean panjang kerap terlihat setiap hari.
Namun, upaya warga tersebut hanya mampu menjadi solusi darurat. Persoalan sebenarnya terletak pada kebutuhan infrastruktur yang lebih kokoh dan berjangka panjang, sesuatu yang sulit diwujudkan tanpa dukungan pemerintah maupun organisasi kemanusiaan.
Dalam video itu, warga Al-Tadamon menyampaikan seruan langsung kepada diaspora Suriah di luar negeri. Mereka diminta membantu menyediakan dana untuk memperkuat sumur yang ada, membeli pompa air tambahan, atau bahkan menggali sumur baru. Bantuan ini dianggap penting agar krisis tidak semakin memburuk.
Selain kepada masyarakat internasional, seruan juga dialamatkan kepada kementerian terkait. Warga mengeluhkan adanya lubang besar yang sudah lama terbengkalai di Al-Tadamon, tetapi tidak pernah ditangani serius. Mereka menilai, jika infrastruktur dasar ini diperbaiki, sebagian persoalan air bisa segera teratasi.
Sejumlah tokoh masyarakat pun telah membentuk sebuah komite lokal. Komite ini bertugas mengoordinasikan bantuan, mengelola sumbangan, dan mengatur kampanye penggalangan dana. Tujuannya agar distribusi air maupun perbaikan sumur bisa dilakukan secara lebih terorganisir.
Krisis ini menambah daftar panjang penderitaan warga Al-Tadamon. Distrik tersebut sebelumnya juga menjadi salah satu titik pertempuran dalam perang saudara Suriah, bahkan pernah menyaksikan pembantaian yang menelan banyak korban sipil. Hingga kini, luka sejarah itu masih membekas di tengah kehidupan yang serba terbatas.
Keberadaan Al-Tadamon yang dekat dengan Kamp Yarmouk, pemukiman pengungsi Palestina terbesar di Suriah, membuat wilayah ini memiliki latar belakang sosial yang kompleks. Banyak penduduknya adalah pengungsi internal dari Dataran Tinggi Golan sejak 1967, sementara sebagian rumah dibangun secara tidak resmi tanpa dukungan layanan publik yang memadai.
Akibatnya, persoalan seperti kekurangan air bukan hanya dampak dari perang, melainkan juga dari lemahnya perencanaan tata kota sejak puluhan tahun lalu. Kini, kondisi itu diperparah oleh belum pulihnya ekonomi, kerusakan jaringan air, dan terbatasnya sumber daya pemerintah.
Para pedagang di pasar lokal juga turut mengeluhkan situasi ini. Harga air yang tinggi membuat biaya operasional mereka meningkat, sehingga harga kebutuhan pokok ikut naik. Hal ini menekan daya beli warga dan menambah beban ekonomi sehari-hari.
Warga menegaskan bahwa air merupakan kebutuhan dasar yang tidak bisa ditunda. Tanpa pasokan yang cukup, kehidupan mereka kian terancam, terutama di musim panas ketika suhu udara meningkat tajam.
Mereka berharap, kampanye penggalangan dana bisa menarik simpati masyarakat internasional. Banyak warga percaya bahwa bantuan dari luar negeri akan lebih cepat membawa perubahan dibanding menunggu langkah konkret dari pemerintah.
Meski begitu, beberapa aktivis lokal memperingatkan bahwa solusi jangka pendek tidak akan cukup. Mereka menuntut adanya strategi komprehensif yang melibatkan perbaikan jaringan pipa, pembangunan reservoir, serta pemulihan sistem distribusi air di seluruh Damaskus selatan.
Jika tidak ada langkah serius, warga khawatir krisis air bisa berubah menjadi bencana kemanusiaan baru. Situasi di Al-Tadamon bisa memicu migrasi paksa, meningkatnya penyakit akibat sanitasi buruk, dan ketegangan sosial di antara warga yang berebut sumber daya.
Bagi masyarakat Al-Tadamon, krisis ini juga menjadi ujian solidaritas. Upaya saling membantu yang dilakukan warga menjadi bukti bahwa meski hidup di bawah tekanan, mereka tetap menjaga kebersamaan.
Kini, harapan terbesar tertuju pada dunia luar, baik diaspora Suriah maupun organisasi kemanusiaan internasional. Dengan bantuan nyata, mereka percaya kehidupan di Al-Tadamon bisa kembali memiliki kepastian, setidaknya untuk kebutuhan paling mendasar: air bersih.
Krisis air dan listrik ini juga menjadi salah satu alasan utama mengapa banyak pengungsi Suriah belum kembali dari kawasan utara negara itu. Bagi mereka, pulang tanpa jaminan ketersediaan layanan dasar hanya akan menjerumuskan kembali pada penderitaan yang sama.
Wilayah yang dihuni mantan pengungsi Palestina maupun pengungsi Dataran Tinggi Golan di masa lalu relatif lebih terperhatikan. Mereka memiliki asosiasi yang sudah berdiri puluhan tahun, yang mengurus rumah-rumah kosong dan membantu pemulihan lingkungan.
Sebaliknya, pengungsi Suriah dari perkampungan asli sering kali kurang mendapat perhatian. Hanya inisiatif dari ketua RT atau tokoh lokal yang sesekali membantu perbaikan layanan dasar di lingkungan mereka. Tanpa dukungan struktural, banyak rumah masih belum layak huni.
Diperkirakan ada sekitar 1 hingga 2 juta pengungsi Suriah yang masih bertahan di kamp pengungsian. Sebagian dari mereka memilih tetap tinggal karena sudah terbiasa, sementara sebagian lain enggan kembali karena tidak ada tempat layak untuk dituju.
Kondisi ini mencerminkan betapa pentingnya pemulihan infrastruktur air dan listrik dalam proses rekonstruksi Suriah. Tanpa itu, upaya repatriasi pengungsi akan terhambat, dan stabilitas sosial di kawasan pascaperang akan sulit dicapai.
No comments