Pengungsi Suriah Terjebak di Kamp Semi Permanen

Masalah pengungsi Suriah masih menjadi salah satu isu kemanusiaan paling rumit di Timur Tengah. Lebih dari satu dekade setelah perang berkecamuk, ribuan orang masih terpaksa tinggal di kamp-kamp yang kini berubah menjadi permukiman semi permanen. Kondisi ini menimbulkan dilema besar, baik bagi para pengungsi sendiri maupun bagi pihak berwenang yang mencoba mengatur keberadaan mereka.

Di kamp Bab al-Salama di Aleppo, misalnya, ribuan keluarga telah bermukim sejak 2012. Pada awalnya, kamp ini hanya dimaksudkan sebagai tempat penampungan sementara. Namun, seiring berjalannya waktu, tenda-tenda darurat berubah menjadi bangunan sederhana, dan kehidupan di dalamnya menyerupai sebuah desa kecil.

Sebagian penghuni kamp mengaku sudah terbiasa tinggal di lokasi tersebut. Mereka membangun ikatan sosial, lingkungan, bahkan aktivitas ekonomi kecil-kecilan. Faktor biaya yang mahal untuk kembali ke rumah asal juga membuat mereka memilih bertahan. Situasi semakin pelik karena rumah-rumah mereka di daerah asal telah hancur akibat perang dan mustahil diperbaiki tanpa bantuan pemerintah.

Kondisi semakin sulit ketika sebagian kamp pengungsi mulai ditinggalkan. Beberapa keluarga berhasil pindah ke daerah lain atau menempati hunian baru, sementara yang tersisa menghadapi masalah semakin besar. Layanan dasar seperti air bersih, pengelolaan sampah, hingga distribusi bantuan hidup mulai berkurang.

Di Bab al-Salama, pemerintah sempat menyampaikan pemberitahuan lisan agar para pengungsi segera meninggalkan lokasi. Alasannya, wilayah tersebut berada di jalur rencana perluasan perlintasan perbatasan. Namun, tanpa adanya alternatif tempat tinggal yang layak, perintah ini menimbulkan kebingungan sekaligus keresahan.

Masalah ini sejatinya bukan hal baru. Sejak awal pendirian kamp, rencana ekspansi perbatasan selalu berbenturan dengan keberadaan pengungsi. Upaya mencari solusi pun tersendat, karena sulit menemukan lokasi pengganti yang dapat menampung ribuan orang sekaligus.
Menurut laporan dari koresponden Aleppo, Ibrahim Al-Khatib, hampir 90 persen penduduk kamp tidak mungkin kembali ke rumah asal mereka. Kota-kota seperti Rif’at, Aleppo, dan Haritan telah hancur parah. Bahkan, jika pun mereka ingin pulang, infrastruktur yang ada tidak lagi mendukung kehidupan.

Lebih jauh, banyak keluarga juga tidak memiliki kemampuan finansial untuk pindah ke daerah lain. Daerah alternatif seperti Tremisa sempat disebut, namun biayanya terlalu besar untuk dijangkau para pengungsi. Ketidakpastian ini membuat mereka terjebak di tengah situasi tanpa pilihan.

Pemerintah sendiri hingga kini belum mengeluarkan tanggapan resmi terkait kekhawatiran para pengungsi. Evakuasi hanya disebutkan secara lisan, tanpa ada keputusan tertulis maupun program relokasi yang jelas. Hal ini memicu ketidakpastian hukum bagi para penghuni kamp.

Kondisi ini memperlihatkan perlunya manajemen ulang yang komprehensif terhadap masalah pengungsi. Banyak pihak menilai, tanpa adanya program perumahan atau dukungan finansial, sulit mengharapkan pengungsi dapat keluar dari kondisi sekarang.

Di sisi lain, pengelolaan kamp yang kian berkurang justru memperparah keadaan. Kekurangan layanan membuat kesehatan, kebersihan, dan kelangsungan hidup para pengungsi semakin rentan. Situasi ini berpotensi memunculkan krisis kemanusiaan baru di tengah keterbatasan bantuan internasional.

Keputusan untuk mengevakuasi kamp juga menimbulkan dilema etis. Apakah adil memaksa orang keluar tanpa memberikan jaminan hunian pengganti? Banyak pengungsi merasa mereka hanya dipindahkan dari satu ketidakpastian ke ketidakpastian lain.
Sejumlah lembaga kemanusiaan mendesak agar pemerintah dan komunitas internasional mengambil langkah nyata. Salah satu opsi yang disarankan adalah pembangunan perumahan permanen di wilayah aman. Namun, hal ini membutuhkan dana besar dan koordinasi panjang.

Selain masalah tempat tinggal, isu psikologis juga tak kalah penting. Hidup bertahun-tahun dalam kondisi serba terbatas membuat banyak pengungsi kehilangan harapan. Anak-anak tumbuh tanpa kepastian pendidikan dan masa depan, sementara orang dewasa menghadapi tekanan mental karena sulit mencari nafkah.

Kamp Bab al-Salama hanyalah satu contoh dari puluhan kamp lain di Suriah. Sebagian besar menghadapi persoalan serupa: keterbatasan fasilitas, beban finansial, dan ketiadaan solusi jangka panjang. Semakin lama masalah ini dibiarkan, semakin besar potensi kamp berubah menjadi permukiman permanen tanpa status resmi.

Di tingkat regional, keberadaan kamp juga menimbulkan ketegangan politik. Perbatasan yang seharusnya difungsikan untuk perdagangan dan lalu lintas resmi, justru terbebani dengan kehadiran ribuan pengungsi. Hal ini memperlambat rencana pembangunan infrastruktur lintas batas.

Para pengamat menilai, solusi harus melibatkan kerja sama lebih luas antara pemerintah Suriah, kelompok oposisi, dan badan internasional. Tanpa koordinasi bersama, nasib pengungsi akan terus terkatung-katung.

Hingga kini, suara pengungsi sering kali tak terdengar dalam pengambilan keputusan. Padahal, mereka yang paling terdampak dan seharusnya memiliki hak untuk menentukan masa depan tempat tinggal mereka.

Kondisi Bab al-Salama menunjukkan wajah nyata dari krisis Suriah yang belum selesai. Di balik gencatan senjata dan diplomasi politik, ada ribuan keluarga yang masih mencari tempat untuk menyebutnya sebagai rumah.

Jika tidak segera ditangani, masalah pengungsian di Suriah berisiko menjadi bom waktu. Krisis kemanusiaan yang berkepanjangan bukan hanya menambah penderitaan warga, tetapi juga mengancam stabilitas sosial dan politik di kawasan.

No comments