Parmalim Berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat?

Sebuah foto lawas tahun 1928 yang diambil di Bukittinggi (dahulu Fort de Kock), Sumatera Barat, memunculkan kembali perdebatan lama tentang akar historis agama Parmalim. Dalam foto yang tersimpan dalam koleksi KITLV tersebut, tampak sekelompok orang tengah melaksanakan kegiatan yang menyerupai ritual Parmalim saat ini. Namun menurut beberapa peneliti, ibadah tersebut lebih tepat disebut sebagai bentuk awal kepercayaan Toba kuno yang dianut oleh komunitas Tubbak atau Tubba Nan Ampek Suku, bukan agama Parmalim sebagaimana dikenal dewasa ini.

Keberadaan ritual yang menyerupai Parmalim di tanah Minangkabau menggugah pertanyaan penting: mungkinkah Parmalim memiliki akar dari Minangkabau sebelum dimodifikasi oleh tokoh Batak, Guru Somalaing pengikut Sisingamangaraja XII? Apalagi, perlu dicatat bahwa pada masa itu istilah "Batak" lebih merupakan label antropologis yang dipakai oleh para peneliti kolonial untuk menyebut suku-suku pedalaman Sumatera Utara, bukan penunjuk garis keturunan dari Si Raja Batak. Meski Hikayat Meukuta Alama dari Aceh dan Sejarah Raja-raja Barus sudah menyebut kata Batak sebagai orang-orang non-pesisir (Melayu). Istilah Sri Batak atau Baduga (Sunda) juga ada dalam literatur Arab.

Misteri ini makin menarik ketika ditelaah melalui laporan H.N. Van Der Tuuk, orientalis Belanda yang dikenal sebagai pionir dalam dokumentasi sastra Batak. Dalam bukunya Grammar of Toba Batak, Van Der Tuuk mencatat adanya istilah “Pinangkabo” yang ia identifikasi sebagai bentuk geografis dari “Minangkabau” atau Pagaruyung. Temuan ini menjadi landasan awal pengaitan historis antara komunitas Batak dengan tanah Minangkabau.

Lebih lanjut, dalam naskah-naskah Habatakon—ajaran spiritual yang diyakini sebagai basis ajaran Parmalim—terdapat pujian suci yang ditujukan kepada “Raja Pinangkabo”. Kalimat pemujaan tersebut menempatkan Raja Pinangkabo sebagai sosok spiritual tinggi, bahkan disejajarkan dengan dewa-dewa lokal seperti Mulajadi Na Bolon. Ini mengindikasikan penghormatan tinggi terhadap sosok atau entitas yang berasal dari Minangkabau yang saat itu sudah Islam. Bahkan menurut Jane Drakard, Sisingamangaraja sendiri merupakan anak dari Tuan Ibrahimsyah dari Barus yang datang dari Tarusan, Kerajaan Inderapura yang dikenal merupakan Zurriyat Nabi SAW.


Kalimat tersebut berbunyi, “Raja Pinangkabo, Raja Pinangkabua na so olo mate, na so olo matua…”, sebuah pujian panjang yang menyebutnya sebagai penguasa bumi luas dan langit tinggi. Dalam konstruksi spiritual Batak, posisi semacam itu biasanya hanya diberikan kepada dewa utama, bukan manusia biasa. Maka, bisa saja Raja Pinangkabo adalah figur spiritual yang dibawa dari Minangkabau ke Tanah Batak dalam proses migrasi budaya.

Jika diasumsikan bahwa ajaran awal Tubbak berkembang di Minangkabau, maka kemungkinan besar penyebaran ke Tanah Batak dilakukan oleh para pengembara spiritual atau pedagang yang membawa serta tradisi religiusnya. Dalam perjalanan waktu, ajaran tersebut kemudian diserap dan dimodifikasi oleh tokoh lokal seperti Guru Somalaing, murid dari Sisingamangaraja XII, yang dikenal sebagai pihak yang memformalkan ajaran Parmalim dalam bentuknya yang modern.

Guru Somalaing sendiri merupakan figur yang dikenal dalam sejarah perjuangan Batak melawan Belanda. Ia dikenal sebagai pembaharu spiritual yang membentuk Parmalim menjadi agama yang terstruktur. Namun, jika benar fondasi ajaran tersebut berasal dari luar Tanah Batak, maka ia sejatinya lebih berperan sebagai penyempurna, bukan pendiri mutlak.

Sejumlah peneliti independen bahkan mulai mengkaji kemungkinan adanya pengaruh ajaran Minangkabau kuno, termasuk unsur dari agama lokal dan kepercayaan pra-Islam, dalam doktrin Parmalim awal. Hal ini makin diperkuat dengan kesamaan simbolisme dan kosmologi antara keduanya, terutama dalam hal penghormatan terhadap leluhur dan roh nenek moyang.

Dalam sejarah panjang Minangkabau, terdapat pula kisah tentang raja-raja spiritual dan tokoh lokal yang dihormati masyarakat. Beberapa nama seperti Datuk Katumanggungan atau Raja Adityawarman pernah menempati posisi penting dalam lanskap religius lokal. Kemungkinan ada transfer nilai-nilai spiritual ini ke Tanah Batak, baik secara langsung maupun melalui perantara budaya.

Ketika kolonialisme Belanda masuk dan menciptakan batas-batas etnis yang tegas antara Batak dan Minang, koneksi historis ini mulai terkikis dan terlupakan. Pengetahuan lokal yang sebelumnya cair dan berpindah lintas wilayah akhirnya terkotak-kotak oleh konstruksi etnografi kolonial yang kaku dan eksklusif.

Fakta bahwa pemujaan kepada Raja Pinangkabo masih ditemukan dalam dokumen-dokumen Batak klasik menunjukkan bahwa relasi budaya antara Minangkabau dan Batak pernah berlangsung intens, bahkan dalam ranah spiritual. Ini juga menunjukkan bahwa Parmalim tidak lahir dari ruang kosong, melainkan melalui proses panjang akulturasi dan evolusi kepercayaan.

Penemuan arkeologis di Sumatera Barat yang menunjukkan adanya hubungan dagang dan budaya dengan wilayah utara Sumatera mendukung hipotesis ini. Selain jalur perdagangan, migrasi intelektual dan spiritual juga menjadi saluran penting dalam penyebaran ajaran agama dan kepercayaan.

Di sisi lain, masyarakat Batak modern sering mengasosiasikan Parmalim dengan identitas etnis Batak semata. Ini adalah hasil dari proses nasionalisasi dan lokalisasi agama yang terjadi sepanjang abad ke-20, terutama setelah Indonesia merdeka. Narasi ini turut mempersempit ruang pembacaan atas sejarah plural dari ajaran Parmalim itu sendiri.

Pengakuan atas unsur Minangkabau dalam akar Parmalim bukan berarti mengkritisi nilai keaslian ajaran tersebut, melainkan memperkaya pemahaman kita tentang proses historis yang membentuk kepercayaan lokal di Nusantara. Ia menjadi bukti bahwa identitas keagamaan adalah hasil dari lintasan panjang perjumpaan antarbudaya.

Sejarah memang sering menyimpan banyak rahasia. Seperti dikatakan dalam unggahan media sosial yang mengangkat isu ini, "Biarlah hal itu menjadi rahasia sejarah." Namun rahasia yang disimpan terlalu lama bisa mengaburkan identitas dan warisan budaya yang seharusnya menjadi milik bersama.

Kini, dengan semakin terbukanya akses terhadap arsip kolonial, kajian linguistik, dan sastra lokal, peluang untuk menelusuri kembali akar-akar spiritual masyarakat Nusantara semakin terbuka. Ini saatnya membuka dialog baru antara tradisi Minangkabau dan Batak dalam membongkar jejak sejarah Parmalim.

Jika benar ajaran ini pernah berkembang di Bukittinggi sebelum bertransformasi di Tanah Batak, maka kita tengah menyaksikan salah satu kisah migrasi spiritual paling menarik di kawasan barat Indonesia. Dan seperti halnya agama-agama besar dunia, Parmalim pun lahir dari dialog, perjalanan, dan perubahan.



No comments