Daerah Miskin Bukan Karena SDA, Tapi Sistem


Jakarta – Isu ketimpangan fiskal antara pusat dan daerah kembali mencuat dalam rapat kerja Komisi II DPR bersama Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan sejumlah kepala daerah. Realita bahwa lebih dari 70% daerah di Indonesia masih sangat tergantung pada dana transfer dari pusat menjadi sorotan utama. Ketergantungan ini mengindikasikan bahwa sistem keuangan negara yang sentralistik tidak lagi relevan untuk mendorong kemandirian daerah.

Ketua Komisi II DPR Rifqinizamy Karsayuda menyebut hanya empat provinsi yang mampu hidup tanpa sokongan dana pusat, yakni Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Daerah-daerah ini memiliki Pendapatan Asli Daerah (PAD) di atas 60 persen, yang menjadi indikator utama kemandirian fiskal. Sebaliknya, masih banyak provinsi dan kabupaten/kota yang PAD-nya berada di bawah 10 persen, bahkan ada yang hanya 4 persen.

Paradigma saat ini menempatkan pusat sebagai sumber utama keuangan daerah, namun dalam praktiknya, hal ini justru menciptakan ketergantungan struktural yang menghambat pembangunan berbasis potensi lokal. Setiap tahun, daerah hanya menunggu alokasi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), tanpa diberi ruang optimal untuk mengelola kekayaan alam dan sumber daya manusia di wilayahnya sendiri.

Sudah saatnya Indonesia mengubah paradigma fiskal nasional. Pemerintah pusat perlu memberikan kewenangan penuh kepada daerah untuk mengelola sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) masing-masing. Dengan catatan, tiga urusan tetap menjadi domain pusat: pertahanan, agama, dan moneter. Selebihnya, daerah harus diberi hak dan tanggung jawab penuh atas ekonominya sendiri.

Dalam skema baru ini, pusat tidak lagi perlu menyalurkan APBN ke daerah. Sebagai gantinya, setiap perusahaan dan pelaku ekonomi di daerah hanya wajib menyetor pajak dan pendapatan ke kas daerah (APBD). Sistem ini akan memberikan insentif bagi daerah yang kaya akan sumber daya, sekaligus mendorong daerah yang minim SDA untuk menggali potensi lain seperti sektor jasa, pariwisata, dan teknologi.

Sebagai penyeimbang, pusat tetap bisa mengambil 20 hingga 30 persen dari total pendapatan daerah sebagai bentuk kontribusi ke negara. Pendekatan ini dapat menghapus narasi bahwa daerah menjadi beban pusat, dan sebaliknya, memperkuat semangat otonomi yang sesungguhnya. Negara menjadi wasit, bukan penyandang dana utama.

Pemerataan dalam sistem ini tidak bergantung pada bagi-bagi uang pusat, tapi pada keberanian setiap daerah untuk membangun berdasarkan keunikan dan kekuatannya. Provinsi dengan tambang dan perkebunan besar akan mengelola sendiri hasilnya, sementara kabupaten yang minim SDA harus memacu kreativitas untuk bertahan dan berkembang.

Sistem ini juga akan mendorong reformasi birokrasi daerah. Pemerintah daerah akan terdorong menjadi lebih profesional dan inovatif, karena kelangsungan fiskal daerah bergantung pada hasil kerja mereka sendiri. Tak ada lagi ruang untuk pemborosan atau ketidakefisienan dalam pengelolaan anggaran.

Di sisi lain, sistem ini bukan berarti membiarkan ketimpangan antarwilayah makin melebar. Pemerintah pusat tetap dapat berperan melalui skema insentif berbasis kinerja, transfer teknologi, dan pendampingan pembangunan strategis. Namun, esensinya bukan lagi berbagi dana, tapi membangun kapasitas.

Penting juga untuk menyiapkan kerangka hukum dan sistem audit yang ketat agar kewenangan daerah tidak disalahgunakan. Penguatan fungsi pengawasan dan transparansi publik menjadi fondasi penting dalam sistem ini. Peran DPRD dan masyarakat sipil harus dioptimalkan untuk menjaga integritas keuangan daerah.

Pengelolaan sumber daya secara desentralistik akan memicu percepatan ekonomi regional. Daerah-daerah yang selama ini tertidur karena mengandalkan dana pusat, akan 'dipaksa' bangun dan bergerak. Sistem ini akan menghasilkan kompetisi sehat antarwilayah yang ujungnya memajukan Indonesia secara menyeluruh.

Indonesia bukan negara miskin sumber daya, tapi sering kali terjebak dalam sistem yang menumpulkan inisiatif lokal. Ketika semua bergantung pada Jakarta, maka daerah hanya akan menjadi pelaksana, bukan perencana. Padahal, semangat reformasi otonomi daerah adalah menciptakan pusat-pusat pertumbuhan baru.

Kita harus berhenti menyalahkan kondisi geografis atau kekurangan alam sebagai alasan stagnasi. Yang lebih penting adalah sistem yang memungkinkan daerah untuk tumbuh sesuai potensinya. Saat semua daerah diberi ruang untuk mandiri, maka pembangunan nasional akan berjalan lebih seimbang.

Isu ketimpangan fiskal ini bukan soal anggaran semata, melainkan keberanian untuk merombak arsitektur kebijakan keuangan negara. Desentralisasi yang sesungguhnya bukan hanya tentang wewenang administratif, tapi juga tentang distribusi kekuatan ekonomi.

Dengan perubahan paradigma ini, Indonesia bisa melangkah menuju negara federal secara ekonomi tanpa harus mengubah sistem politiknya. Ini soal efisiensi, pemerataan, dan keadilan pembangunan. Pusat kuat karena daerah kuat, bukan sebaliknya.

Ruang dialog antara pusat dan daerah harus dibuka lebar. Perubahan sistem bukan berarti pengabaian, tetapi bentuk kemitraan baru yang lebih adil. Saatnya memberi kepercayaan kepada daerah, karena mereka tahu apa yang terbaik untuk rakyatnya.

Pola pikir lama yang melihat daerah sebagai beban harus ditinggalkan. Sudah saatnya daerah dilihat sebagai aset, bukan hanya objek distribusi anggaran. Masa depan Indonesia adalah masa depan yang dibangun dari bawah ke atas, bukan sebaliknya.

Apakah sistem ini ideal? Mungkin belum sempurna. Tapi inilah saatnya berani mencoba, sebab stagnasi akan terus terjadi jika kita bertahan dalam sistem yang sudah terbukti tidak menghasilkan kemandirian daerah.

Dibuat oleh AI

No comments